Cahaya Ramadan di Pinggir Jalan

0
9 views

Bagian Empat: Kesempatan di Akhir Kemenangan

Angin dini hari membelai wajah kami saat lelaki tua itu mengulurkan tangannya. Di matanya, ada kelembutan yang tak pernah kami temukan di jalanan. Namun, hatiku tetap diliputi keraguan. Bertahun-tahun hidup dalam gelap, membuat cahaya terasa asing. Apakah benar ada orang sebaik ini? Apakah kami layak menerima kebaikan?

Aku menoleh ke arah Elang. Bocah itu menggigit bibirnya, menatap tangan lelaki tua itu, seperti seorang pengelana yang ragu menyentuh sumber air. Lalu, dengan ragu-ragu, ia menggenggamnya. Aku tahu, Elang memilih percaya. Tapi aku?

Lelaki tua itu tidak memaksa. Ia hanya tersenyum dan berkata, “Ramadan adalah bulan kesempatan, Nak. Kesempatan untuk kembali, kesempatan untuk berubah. Allah selalu memberi jalan pulang bagi siapa pun yang mau melangkah.”

Aku memejamkan mata. Kata “pulang” terasa asing bagiku. Rumah adalah ilusi yang tak pernah kukenal. Namun, apakah aku akan selamanya menggelandang dalam ketidakpastian? Apakah aku akan terus menutup pintu kesempatan?

Langit mulai berubah warna. Ufuk timur merona jingga. Aku menarik napas panjang, lalu mengulurkan tanganku, bukan hanya untuk lelaki tua itu, tetapi juga untuk diriku sendiri. Untuk pertama kalinya dalam hidup, aku memilih percaya.

Kami berjalan meninggalkan masjid, meninggalkan trotoar, tempat kami selama ini bertahan. Tak ada yang tahu bagaimana hari esok. Namun, malam ini aku belajar satu hal: selama masih ada secercah cahaya, jalan pulang selalu ada.

Dan Ramadan ini, kami diberi kesempatan untuk menemukannya.

Ketika langkah kami semakin menjauh dari jalanan, rasa asing menyergap dadaku. Apakah ini benar keputusan yang tepat? Namun, genggaman Elang di tanganku terasa erat, seolah memberi keyakinan bahwa kami telah memilih jalan yang benar.

Lelaki tua itu membawa kami ke sebuah rumah kecil di ujung gang. Rumah sederhana dengan lampu temaram yang memancarkan kehangatan. “Kalian tidak perlu takut,” katanya, “Allah selalu punya rencana untuk setiap hambanya.” Kata-kata itu menggema dalam hatiku, mengikis sedikit demi sedikit ketakutan yang selama ini membelenggu.

Di ambang pintu rumah itu, aku menghela napas panjang. Mungkin ini awal dari sesuatu yang baru. Mungkin, Ramadan kali ini benar-benar menjadi titik balik dalam hidup kami. Aku melangkah masuk, meninggalkan masa lalu dan untuk pertama kalinya, menatap masa depan dengan secercah harapan.

Hari-hari berlalu. Kami mulai terbiasa dengan kehidupan baru. Elang membantu lelaki tua itu di warung kecilnya, sementara aku mulai belajar membaca dan menulis dari beberapa buku yang ia pinjamkan. Ramadan semakin mendekati akhir dan untuk pertama kalinya dalam hidup, aku merasa memiliki tempat untuk kembali.

Malam takbiran tiba. Suara takbir menggema dari segala penjuru, membelah malam dengan lantunan yang menyentuh kalbu. Aku dan Elang duduk di depan rumah, menatap langit yang dipenuhi cahaya lampu dan kembang api di kejauhan. “Besok kita akan salat eid, Kak?” tanya Elang pelan.

Aku menoleh padanya, lalu tersenyum. “Iya, kita akan salat bersama. Kita akan memulai lembaran baru.”

Elang menyandarkan kepalanya di bahuku. Aku menatap ke depan, ke jalanan yang dulu kami anggap satu-satunya rumah. Kini, aku sadar, rumah bukan sekadar tempat berteduh. Rumah adalah tempat di mana hati merasa aman, di mana cahaya selalu ada untuk mereka yang mau melangkah.

Dan malam ini, aku tahu, aku telah menemukan rumahku.

TAMAT

Penulis: Frida
Editor: Lydia