BerandaKhazanahKonflik Ulama dan Umara

Konflik Ulama dan Umara

Riuh rendah berbagai persoalan yang terjadi mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara di tanah air Indonesia terus bergulir silih berganti. Isu mengenai kriminalisasi ulama dalam beberapa tahun kebelakang di jagat media sosial nyaris seringkali mengemuka. Hal itu terjadi lantaran pertentangan konflik politik antara umara dan ulama. Silang pendapat menjadi bola salju yang kian hari bertambah besar hingga berujung kepada tragedi. Entah gerakan massa besar-besaran yang di kerahkan oleh pihak ulama atau secara mencengangkan terjadi sebuah kasus yang menjerat ulama kedalam lumpur hidup sel-sel penjara. Menjadi pesakitan dalam tahanan. Sejarah itu berulang melalui aktor yang berbeda.

Sekarang kita sudah bisa merasakan bagaimana perlahan sejarah itu berulang. Perseteruan antara umara dan ulama semakin meruncing sejak satu dekade terakhir. Kebijakan dan sikap pemerintah kerap di anulir dan direspon pesimis oleh kalangan ulama. Sebaliknya, pihak ulama yang bersifat oposan dan melakukan kritik tak jarang di pandang sebagai gerakan pemecah belah bangsa. Saling tuding dan silang pendapat seakan bagai rel kereta yang tak berujung.

Teman-teman sekalian, ternyata peristiwa-peristiwa yang kita alamai dan rasakan sekarang adalah sebuah keniscayaan dalam kehidupan. Bahwa suatu saat hal itu akan terjadi kepada perjalanan hidup umat manusia. Isu soal kriminalisasi ulama sebenarnya bukan hal baru dalam catatan sejarah sebab dahulu pernah terjadi dan di abadikan dalam berbagai karya cendekiawan. Kita bisa mengetahuinya dalam catatan sejarah ke khilafahan islam masa Bani Ummayah, Bani Abbasiyah (Kedua khilafah yang menerapkan sistem monarki) hingga masa pemerintahan Republik Indonesia.

Mengutip dari nadirhosen.net artikel Gus Nadirsyah Hosen yang berjudul Kriminalisasi Ulama di Masa Khilafah ia terangkan beberapa peristiwa yang terjadi berkaitan mengenai konflik umara dan ulama. Ada sembilan peristiwa yang di paparkan namun hanya sedikit yang akan saya ambil mengenai kasus pertentangan soal kebijakan dan sikap antara umara dan ulama saat itu. Bahwasannya ketika kepemimpinan khalifah Al-Manshur, ada ulama yang mengalami tekanan dan intimidasi. Khalifah memerintahkan untuk mencambuk Imam Abu Hanifah Rahimahullah ketika menolak menjadi hakim, memenjarakannya hingga wafat di penjara. Dikatakan bahwa Imam Abu Hanifah wafat karena diracun akibat telah berfatwa membolehkan memberontak melawan khalifah Abu Jafar Al Manshur. Selain itu, menurut Imam Suyuthi, Imam Malik mengeluarkan fatwa bahwa boleh keluar memberontak terhadap khalifah Al Manshur mengingat kekejaman yang dilakukannya. Gubernur madinah kemudian menangkap dan mencambuk Imam Malik akibat fatwa itu.

Tragedi masih berlanjut, fitnah menerpa Imam Syafii, hingga ia di seret dengan tangan terantai menuju tempat Khalifah Harun ar Rasyid di Baghdad dan terancam hukuman mati. Namun beliau berhasil menyampaikan pledoi yang luar biasa yang membuat khalifah melepasnya. Beralih kepada kepemimpinan Khalifah Al Makmun, ia memerintahkan di kumpulkannya para ulama dan diinterogasi apakah mereka berpendapat Al-Quran itu qadim atau makhluk. Sesiapa yang menjawab makhluk, maka amanlah dia. Sementara sesiapa yang menjawab qadim, habislah dia di siksa. Kebijakan Khalifah Al Makmun di teruskan oleh Khalifah selanjutnya. Imam Ahmad bin Hanbal di tangkap dan diperintahkan untuk dicambuk oleh khalifah al Mutashim karena bertahan bahwa Al-Quran itu qadim. Perlu diketahui bahwa catatan Gus Nadir ini bersumber dari kitab Tarikh Thabari karya Imam Thabari dan Tarikh al Khulafa karya Imam Suyuthi. Gus Nadir menambahkan bahwa fakta sejarah ini tak terbantahkan dan di catat dalam kitab klasik yang mutabar itu. Tulisannya yang serupa juga bisa kita temukan dalam bukunya yang berjudul Islam Yes Khilafah No.

Menjajaki masa kemerdekaan bangsa Indonesia peristiwa perseteruan dua entitas ini ternyata masih kembali terjadi. Mengutip dari m.goriau.com artikel berjudul Di Fitnah Keji dan Dipenjara Tanpa Diadili, Buya Hamka Tetap Bersedia Jadi Imam Shalat Jenazah Soekarno, masih segar dalam catatan waktu ketika Buya Hamka di penjarakan di masa Presiden Soekarno selama dua tahun empat bulan. Buya di tahan karena di anggap melanggar UU Anti-Subversif Pempres No. 11. Ia di tuding terlibat dalam upaya pembunuhan Soekarno dan Menteri Agama saat itu, Syaifuddin Zuhri. Namanya dihancurkan, perekonomiannya dimiskinkan, kariernya di matikan dan buku-bukunya dilarang beredar sejak itu. Namun demikian jiwa besar Buya Hamka menunjukan kasih sayangnya. Ia tidak pernah menyimpan dendam terhadap Soekarno yang telah menjebloskannya ke penjara. Bahkan sudah mahsyur di kalangan kita bahwa Hamka lah yang mengimami shalat jenazah bung besar itu.

Masa berubah pemimpin berganti. Orde lama beralih kepada orde baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Kembali Hamka sebagai yang termasuk kedalam entitas ulama mengalami pertentangan dengan pihak pemerintah ketika dia menjabat sebagai ketua MUI yang pertama kalinya. Dalam buku karya Ridwan H.D yang berjudul Negarawan Masjid, di tuturkan tentang perbedaan sikap Hamka dengan Menteri Agama saat itu mengenai persoalan perayaan natal bersama. Saat itu MUI berusaha menjaga akidah umat terhadap maraknya makna toleransi antar umat beragama tanpa batasan akidah sebagai seorang muslim. Dengan dalil-dalil teks Al Quran dan Hadist beserta dalil akal, dijelaskan oleh MUI alasan-alasan seorang muslim diharamkan mengikuti perayaan natal. Rupanya, fatwa ini tidak sejalan dengan kementrian agama ataupun pemerintah. Menteri Agama meminta fatwa itu di tarik. Akhirnya fatwa MUI terkait persoalan itu dengan tanda tangan Hamka di cabut. Meski demikian, Hamka tetap seorang ulama dan teguh pada pendiriannya mengeluarkan fatwa sebagai sosok ulama, bukan ketua MUI, yang melarang umat islam mengikuti perayaan natal. Kemudian ia memutuskan mundur setelah enam tahun memimpin MUI.

Dari beberapa peristiwa sejarah yang menerangkan tentang perseteruan anatara umara dan ulama memberikan kita pelajaran dan fakta bahwa politik akan selalu menghadirkan konflik. Akan tetapi bukan berarti untuk di hindari melainkan untuk di amati dan di jadikan pertimbangan untuk dewasa mengelola perbedaan dan perselisihan. Sebab hal itu merupakan hukum alam yang sudah di gariskan oleh Allah Swt. Lantas kemudian mengenai pihak mana yang benar dan salah? Kita berlepas diri dari penilaian itu. Sebab kasus-kasus yang menyeret ulama maupun umara kedalam pusaran pertikaian selalu di naungi oleh hal-hal politis yang membuat samar peristiwa. Waktu biasanya memberi dua kemungkinan, persoalan akan semakin jelas atau bias tergerus waktu.

(Penulis adalah Iman Karto, Mahasiswa Hukum Tata Negara UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten)

- Advertisment -

BACA JUGA