AGAPE NIRMALA

PUNCAK CINTA

Siang ini akan menjadi hari yang  bersejarah dalam hidup seorang gadis yang bernama Sicilia, ia Mahasiswa di salah satu Universitas yang ada di Indonesia.

“Sic, kantin yuk!” Ajak Mira teman dekatnya.

“Duluan Mir, gua ada urusan bentar,” jawabnya cepat.

“Mau kemana lu?” Tanya Mira.

“Kebelet,” jawab Sicilia asal.

“Kebelet pipis apa nikah?” celetuk Risa yang sendari tadi berdiri di ambang pintu menunggu teman-temannya.

“Dua-duanya oke, biar jadi paket komplit, enak,” jawab Sicila terkekeh.

“Bener nih ditinggal?” Mira memastikan.

“Iya Mir, sorry ya!”

Setelah pundak temannya tak terlihat lagi Sicila segera keluar kelas, hari ini ia akan bertemu dengan orang yang selama ini ia cintai.

Sic,” satu pesan mendarat dari On-Gia.

Iya bentar lagi dijalan,” balasnya cepat.

Takutnya kamu amnesia atau phobia.” Sicilia tersenyum saat membaca jawaban pesan dari On-Gia “Tidak akan mungkin, Gi,” gumanya dalam hati.

Ia sedikit berlari karena tak sabar akan perjumpaan langka itu, sampai-sampai ia menabrak salah satu mahasiswa,”Bruuu….k.”

“Eh sorry!!” Ucap Sicilia kelapakan.

“Kalo jalan pake mata dong!!” Lelaki berkacamata itu menatap tajam ke arah Sicilia.

“Iya maaf ya, mataku sudah buta karenanya, hehe…” Sicilia berkata pelan seperti berbisik pada dirinya sendiri, tapi ternyata suaranya tetap terdengar oleh pemilik buku itu.

“Udah salah, ngebucin lagi,” bentaknya.

“Eeeee… beneran maaf banget, aku gak sengaja, serius!”Ucap Sicilia, ia menempelkan kedua tangannya seperti orang yang sedang memohon.

Dengan cepat, Sicilia mengumpulkan buku-buku yang beserakan di lantai lalu memberikan buku itu pada lelaki yang berdiri mematung di hadapannya. Sicilia tersenyum kecut dan meninggalkan lelaki itu, ia tetap berlari sambil mengangkat jari telunjuk dan tengah dengan menggambarkan huruf V dalam arti mengajak damai.

Setelah menuruni puluhan anak tangga karena lift sedang bermasalah, lalu menerbos beberapa lorong bangunan akhirnya ia sampai di Taman Belakang Kampus (TBP), tempat favorit lelaki yang akan ia temui karena TBP tempat paling aman untuk mengasingkan diri dari hiruk pikuknya dunia kampus. Sicilia gugup saat ia yakin bahwa lelaki itu benar-benar manusia yang selama ini ia cintai. Ia diam sejenak, menarik nafas dalam-dalam lalu menatap lelaki itu dari kejuhan, hati Sicilia bagaikan drumband yang sedang di pukul dag dig dug, detak jantungnya pun tak teratur. Ketika kekuatannya sudah terkumpul, iamelangkahkan kaki mendekati seorang lelaki yang sedang duduk dengan beberapa judul buku.

“Hey, selamat….” Sicila belum selesai merangkai kalimat yang akan di ucapkan, namun lelaki yang berambut ikal itu dengan cepat melanjutkan kalimatnya.

“….Selamat datang,” sambung Gian, Sicilia tersipu malu.

“Gimana kabarnya?” Tanya Sicilia.

“Duduk aja belum udah nanya kabar, rajin banget,” ucap Gian tanpa memandang ke arah Sicilia.

“Ah dasar Gian selalu saja aneh,” Sicilia menarik nafas panjang, lalu menghembuskannya tepat saat ia duduk di samping Gian. “Kenapa kamu selalu aneh, Gi?” tanyanya.

“Kenapa aku harus gak aneh, Sic?” bukannya menjawab, Gian malah balik bertanya membuat Sicila salah tingkah dibuatnya.

Tuhan, jika pertemuan ini hanya akan membuat rumit pikiran dan hidupku dengan semua perkataan dan tingkah laku Gian, lebih baik aku tak di pertemukan meskipun rindu ini nyata adanya,” Sicilia tertunduk,  bergumandalam hati.

Saat Gian menyadari Sicilia diam, akhirnya ia pun menjawab dengan nada bicara yang datar seperti memberi penjelasan “Sic, kalo gak aneh bukan aku.”

“Kalo bukan kamu berarti gak aneh,” timpal Sicilia.

“Nah, itu tahu,” jelas Gian.

Siang itu cuaca sangat bagus, langit biru yang dihiasi dengan gumpalan awan nan indah semakin mempercantik keadaan alam. Dua makhluk ciptaan Tuhan terdiam, keduanya pura-pura fokus dengan buku yang kini mereka baca. Raga mereka memang sedang berdampingan namun pikirannya nan jauh disana menjelajahi dunia masing-masing. Sicilia dihantui bayangkan masa lalu, Gian membayangkan kehidupan di masa depan. 

“Gi,” ucap Sicila pelan, matanya masih tertuju pada buku.

“Aku disini,” jawab Gian sama pelannya.

“Tumben….” Sicilia seperti ingin mengatakan sesuatu.

”Kenapa?” tanya Gian, sedikit memalingkan wajah pada Sicilia.

”Es batunya udah meleleh ya, Gi?” Sicilia bertanya dengan sangat hati-hati.

“Mugkin iya, mungkin enggak,” jelas Gian.

“Oh, gitu,” Sicilia mengangguk-angguk. Anggukan menghargai meski sejujurnya itu tanda tak faham.

Semesta kembali sunyi, mengajak mereka diam. Diam-diam Gian memperhatikan rambut Sicilia yang sesekali terterpa angin. “Dia, tak cantik! tegas Gian dalam hati.Diam-diam juga Sicilia berguman “Gian, am under your spell.”

“Sudah jam satu, Sic.” Gian yang sendari tadi diam berupaya membuyarkan lamunan Sicilia, sekaligus mengingatkan.

“Iya, aku punya jam kok,” jawab Sicila sambil memperlihatkan jam perak yang ia kenakan di tangan kanannya.

“Mau masuk?” tanyanya.

“Apa lanjut ngobrol?” Sicilia balik bertanya dengan santai.

“Wah… udah berani bolos ya,” ucap Gian terkekeh.

“Diajarin kamu,” Sicilia membela.

“Perempuan selalu benar,” sindir Gian yang pandangannya kembali berpura-pura fokus pada buku yang tebalnya sekitar 500 halaman itu.

“Bagi para lelaki yang kehabisan akal,” Sicila menimpali sindiran Gian.

“Nyindir?” tanya Gian.

“Kamu merasa?” Sicilia tak kehabisan kata untuk menyekak perkataan Gian.

Gian diam, Sicilia juga sama, hening dalam keramaian. Mereka tidak tahu keheningan itu pertanda kebahagiaan atau malah salah satu cara menyapa kesedihan. Mahasiswa satu persatu kembali ke kelasnya masing-masing. Hanya tersisa mereka berdua di taman belakang perpustakaan.

“Sic, kenapa kamu mau diajak ketemu?” tanya Gian tiba-tiba.

“Kenapa kamu malah ngajak? Timpal Sicilia.

“Kamu sekarang suka membalik-balikan ya.” Gian terkekeh.

“Asal tidak membalikan perasaan pada tempat yang salah, hahaha…” Sicilia tertawa lepas, seakan dia puas dengan apa yang telah ia ucapkan.

“Dasar bucin, kebanyakan makan micin,” Kata Gian sambil tersenyum kecut.

“Dari dulu dong,” jawab Sicilia bangga, namun ia langsung diam saat sadar suaranya begitu keras.

“Dulu, aku gak tau kalo dulu,” sanggah Gian.

“Iya, hanya aku dan Tuhan yang tau,” Sicilia menimpali.

#DULU

Empat tahun lalu, di pusat kota, di salah satu SMA terkenal, Sicilia melanjutkan Sekolah. Meski hanya SMA dan terdengar biasa saja tapi banyak sekali siswa pendatang yang berjodoh dengan sekolah itu, tak terkecuali dengan Gian. Lelaki unik dan cenderung aneh, ia hobi menghabiskan waktunya dengan memikirkan dan melakukan sesuatu yang tidak pernah terbesit di pikiran orang lain. Terlihat sangat introvert meski aslinya ia layak disebut ekstrovert karena meskipun cover sikapnya yang pendiam, diam-diam ia seorang provokator yang mampu membuat teman-temannya tunduk. Jika sudah berbuat ulah, tak satupun mampu merendam kelakuan buruknya itu.

Pernah suatu hari ia berencana memutuskan tali yang ada pada tiang bendera, dan tak disangka idenya berhasil berkat bantuan teman-temannya. Alasannya sangat simpel, ia tak ingin ikut upacara bendera, yang menurutnya membosankan. Selain itu, ia juga pernah menentang guru Matematika bersama beberapa temannya, guru itu sangat marah dan puncaknya menangis lalu mengadu pada kepala sekolah.

Mereka semua dipanggil, Gian sebagai provokator mendapat perlakuan yang paling kasar dari kepala sekolah dan guru Matematika dengan penuh kejengkelan menatap sinis ke arahnya, lalu berkata “Gian, orang seperti kamu tidak akan sukses!” Mendengar ucapan gurunya, Gian melontarkan kata “sejak kapan kalian jadi Tuhan?” lalu ia meninggalkan tempat itu tanpa menunggu jawaban.

Keesokan paginya, Raju memberikan secarik kertas pada Gian Rangkum  buku Matematika 1 buku fulllllllllllll tanpa cacat, tanpa kelewat!!!!!!”

“Dari siapa, Ju?” tanya Gian.

“Bu, Sri,” jawab Raju, singkat.

Sepulang sekolah, tak biasanya Gian duduk di depan kelas 10, di dalam kelas sana ada bu Sri. Saat anak-anak berhamburan keluar, ia menyusup masuk dan menemui bu  Sri, ia meminta maaf atas kesalahan yang telah ia perbuat. Dengan senang hati bu Sri memaafkannya.

“Bu, apa benar saya harus merangkum buku Matematika setebal itu?” tanya Gian sambil memperlihatkan buku dengan tebal sekitar 600 halaman.

“Iya, Gi,” tegas bu Sri.

”Apakah hukuman Allah untuk orang yang telah bertobat tetap sama?” tanya Gian lagi, Bu Sri cukup lama terdiam saat mendengar pertanyaan Gian yang tak pernah terbesit dipikirannya.

“Baiklah Gian, Ibu mengerti maksud kamu, silahkan kamu rangkum 1 BAB saja,” jelas bu Sri sambil terkekeh.

“Nah… begitu dong, terimakasih, bu.” Gian tersenyum, senyum yang jarang sekali diperlihatkan kepada khalayak banyak.

“Oiya Bu, jangan bilang-bilang ke yang lain kalo saya menemui ibu. ini rahasia kita, janji ya, bu!” ucap Gian dengan wajah serius, Bu Sri hanya tersenyum dan mengangguk.

“Saya pamit,” ucap Gian, menyalami dan meninggalkan Bu Sri.

“Anak aneh,” guman bu Sri sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Begitulah Gian, di hadapan semua orang ia selalu menunjukan segala keburukannya.  Dengan sangat sengaja ia juga sering menentang kebijakan kepala sekolah atau beberapa guru yang tidak sependapat dengannya, seperti kasus yang tadi. Selain menemui gurunya langsung, biasanya ia juga mengirim tulisan dalam bentuk kertas yang isinya adalah sebuah kritikan, lalu ia akan menempelkannya di Mading Mamluk yang berada di area sekolah dengan menitipkan kepada siapa saja yang ia temui.

Dibalik semua kelakuan buruknya, lelaki yang terkenal pendiam itu diam-diam juga berupaya sekeras tenaga menyimpan semua kebaikan yang ia lakukan. Gian ternyata sangat rajin belajar bahkan setara dengan manusia kutu buku diluaran sana. Selain itu ia juga pandai membaca Qur’an bahkan pernah menjadi juara MTQ tingkat Provinsi. ia sering mengikuti kajian dan termasuk salah satu siswa yang sangat cerdas bahkan melebihi beberapa guru yang ada disana. Gian menguasai berbagai macam ilmu, kecuali yang berhubungan dengan hitung-hitungan.

Sikap Gian yang seperti itu jarang sekali diketahui oleh orang-orang disekitarnya, kecuali oleh mereka yang ingin mengenalnya lebih dalam, termasuk Sicilia.

Sicilia jatuh hati padanya saat ia tau jika Gian seorang kutu buku, dan Sicilia dibuat menjadi kutu buku karenanya, meski tanpa kata dan aba-aba. Kemanapun Gian pergi, buku tak pernah lepas dari genggamannya.

Suatu hari Gian ditanya oelh salah satu temannya “Gian, kenapa kamu selalu bawa buku?”

“Kenapa saya harus menjawab pertanyaan kamu?” Jawab Gian santai, membalikan pertanyaan.

Orang yang bertanya itu hanya menggelengkan kepala lalu pergi begitu saja, sepertinya ia sudah faham dengan sikap dan sifat yang melekat pada diri Gian.

Beberapa perempuan yang mengenal Gian lebih dalam akan selalu jatuh hati padanya, termasuk Sicilia yang amat terkenal sangat mencintainya. Meskipun Gian bersikap dingin, sepertinya ia akan terus yakin jika ia akan mampu mersanding dengannya.

Dimanapun, Sicilia hanya berbicara tentang kebaikan Gian, terutama pada teman sekelasnya. Entah itu benar nyatanya atau ia sulap keburukannya menjadi kebaikan.

“Sic, gak ada topik gitu selain Gian? Gian lagi, Gian terus, Gian… Gian. Gian… jangan-jangan kamu suka dia?” grutu Amey teman sebangkunya.

“Engga kok biasa aja, kenapa emang?” sanggah Sicilia.

“Sering banget gitu,” timpal Amey yang mulai terlihat kesal.

“Eh Mey, dari pada kita ngomongin kejelekan orang, lebih baik kebaikannya. Iya gak?” jawab Sicilia, menunggu persetujuan.

“Sic, kamu tau gak kalo dia sering banget dapet hukuman?” tanya Amey lagi

“Tau dong, dan kamu harus tau tidak semua yang dihukum itu salah,” Sicilia bersikukuh membela Gian.

“Dan orang yang jatuh cinta selalu dibutakan,” celetuk Lala yang tiba-tiba ikut nimbrung.

“Kamu beneran suka dia?” Tanya Amey dengan sangat polos.

“Gak, biasa aja kata aku juga, cuma dia tuh unik.”

“Mana ada maling ngaku, iya gak?” Lala semakin memojokan Sicilia, lalu mereka tertawa.

Semakin hari, perihal Sicilia mencintai Gian semakin ramai dibicarakan, bahkan sampai ke telinga beberapa guru muda. Tak sedikit orang yang dengan sengaja mengatakan hal itu langsung di depan Gian, namun ia tak pernah peduli. Gian juga tau jika beberapa guru seringsekali menyinggungnya dan ia malah menunjukan rasa kesal yang amat dalam.

Sebetulnya, Gian dan Sicilia sering chat lewat Massager, namun untuk berbincang secara langsung hanya terjadi sekitar 4-5 kali saja dalam kurun waktu 3 tahun, itu pun dalam keadaan urgent. Oleh karena itu, pertemuan hari ini sangat spesial bagi seorang Sicilia.

#Sekarang

“Gi, kamu masih ingat gak kalo dulu pernah mutusin tali di tiang bendera biar gak jadi upacara?” tanya Sicila, sedikit mengenang masa sekolahnya.

Gian terkejut, “Dari mana kamu tau?”

“Aku tau semua tentangmu,” jelas Sicilia.

“Dasar kepo,” ucap Gian, datar.

“Itu dulu, kepo itu wajar bagi mereka yang sedang dilanda ci….”

“….Cicak-cikcak di dinding,” potong Gian mengalihkan, Sicilia tertawa.

“Eh kamu sadar gak, kalo dulu kamu itu aneh?” tanyaSicilia.

“Sadar gak sadar sih, kalo tidur kadang gak sadar,” jawab Gian asal.

“Oke masih joking nih, ya.” Ucap Sicilia dengan nada yang sedikit kesal.

“Mau serius?” tanya Gian, menatap Sicilia.

“Kenapa harus serius, kalo becanda lebih mencairkan suasana,” jawab Sicilia.

“Nah, pinter!” Gian memuji sekaligus merendahkan Sicilia.

“Gi, tapi aku beneran heran, kenapa dulu banyak perempuan yang suka sama kamu dan kamu selalu dibanggakan banyak orang sebetulnya sih oleh diriku juga. Pedahal aku tau kalo kamu biasa saja, malah cenderung brutal, kenapa, Gi?” tanya SIicilia.

“Aku lebih heran,” jawabnya simpel dan datar.

“Apalagi kalo kamu sudah menentang kepala sekolah, kadang aku tak habis pikir kenapa orang secerdas kamu bisa melakukan itu,” kini obrolan mereka mulai mencair.

“Sebetulnya aku juga heran sama kamu, kenapa setiap kali tali ditarik, kamu selalu ngulur?” Gian terkekeh.

“Karena kalo pendek gak asik,” Jawab Sicilia asal, mereka diam sejenak.

“Sicilia, aku ingin bertanya,” Ucap Gian dengan sangat serius.

“Nanya aja, feel free kok,” Sicilia mempersilahkan.

“Kenapa kalo aku narik kamu selalu ngulur?” tanya Gian dengan nada yang sangat lembut.

“Kan sudah aku jawab, kalo pendek gak asik.”

“Sicilia, aku serius!”

Lelaki yang bernama Gian itu menatap tajam ke arah Sicilia, ia menutup buku yang sendari tadi ia baca, seakan menunggu jawaban yang akan Sicila berikan. Sicilia tertunduk, ia kesal kenapa harus dalam situasi seperti ini Gian bertanya tentang hal itu. Memori tentang masa kelam kembali memenuhi pikirannya.

“Jelasin dulu maksudnya!” pinta Sicilia.

“Sic, aku tahu kamu engga bodoh,” tegas Gian, Sicilia semakin diam, terlalu sakit untuk di ingat.

“Sic, aku tanya loh,” Gian menepuk pundak Sicilia dengan buku.

“Gian, siapa yang mampu menghindar dari cinta?” Sicila balik bertanya. Namun Gian tetap diam karena ia tau Sicila akan melanjutkan perkataannya.

“Dulu, kacamataku buta akan semua keburukanmu, aku hanya memakai kacamata kebaikan tentang dirimu. Dulu aku mencintaimu, sangat mencintaimu. Tapi, sekarang aku tidak begitu yakin bahwa itu adalah cinta…” Sicilia menghela nafas “…Karena dulu aku hanya ingin kamu jadi milikku, tanpa peduli kebahagiaanmu, tanpa berpikir perasaanmu. Menurutmu apa itu cinta?” tanya Sicilia.

Gian terdiam mencerna kata demi kata yang Sicilia ucapkan.

“Makasih udah mau jujur,” kata Gian sambil tersenyum.

“Jujur doang gak repot kok,” jawab Sicilia lega.

“Sicilia, mungkin ini bukan berita atau informasi penting, tapi sepertinya aku harus mengucapkan hal ini,” sepanjang yang Sicilia tau baru kali ini Gian memperlihatkan mimik sangat serius ketika akanberbicara.

“Sejak dulu, aku tau kalo kamu suka aku,  temankubanyak yang ngasih kode dan tak sedikit juga yang bilang langsung.  Aku peka, aku tahu bahkan aku juga faham,tapi aku selalu diam seakan telingaku tuli, seakan pandanganku buta, but actually feel what you feel…” Gian menghela nafas panjang “…Sicilia, mungkin kamu harus tau, dulu aku punya mood sendiri yang seolah-olah aku sendiri aja gak bisa ngaturnya, sampai akhirnya aku menjauh, aku gak mau buat goresan di lembaran orang lain, apalagi terlalu dalam. Betapa sangat pecundangnya aku jika membuat goresan pada hati seorang wanita hanya karena mood dalam diriku. Sic, intinya waktu itu aku gamau kamu sakit hati karena aku,” jelas Gian.

#Dulu

Malam itu udara tak begitu dingin, tapi badan Siciliamenggigil hebat. Ia yang kala itu tinggal di kosan meminta salah satu temannya untuk datang ke kamar.

What happen, Sic?” ucap Rere sambil membuka pintu.

“Tau nih dingin, kayanya masuk angin,” jawab Sicilia.

“Gila emang, pake acara masukin angin segala.”

“Emangnya ini mau gua, aneh lu,” Sicilia mendumel.

“Ini apaan?” Tanya Rere, mengambil selembar kertassambil sibuk mengunyah keripik.

“Kertas,” jawab Sicilia sengan malas.

“Gua juga tau kali, ya maksud gua ini kertas surat buat siapa? Kok pake tinta merah gini???” tanya Rere dengan kesal.

“Bisa baca, kan?” Singgung Sicilia.

“Dasar lu ya, lagi sakit juga masih bisa ngatain gitu.” 

“Gak usah banyak tanya makanya.”

Rere sahabat kecil Sicilia. Hanya saja saat duduk di bangku SMA mereka beda kelas karena mengambil periodi yang berbeda.

“Ini gilaaaa……….” teriak Rere.

“Re, malem! Mulutmu itu gak bisa di kontrol,” Kedua tangan Sicillila menutup rapat mulut Rere yang masih mengaga.

“Sakit, boi!!” ucap Rere sambil berusaha melepaskan tangan Sicilia.

“Lu sih….”

“Haha sorry alias maaf,” Rere mengangkat dua jarinya dengan membentuk huruf V.

“Beliin obat dong,” pinta Sicilia.

“Obat? Gak usah. Gua tau lu sakit bukan karena demam, tapi lu sakit karena terlalu mengharapkan si Gian itu kan?” sindir Rere.

“Apaan sih? Cepetan beliin obat, pengen tidur nih,” Sicilia mulai kesal dengan kelakuan Rere.

“Mata lu sembab, kayanya lu abis nangis ya?” Goda Rere.

“Enggak,” jawab Sicilia ketus.

“Ah Gian doang kok ditangisi, udah bandel, provokator lagi,” Rere merendahkan.

“Ngga Re, dia baik,” Sicilia membela.

“Ah tuh kan bener, pedahal gua cuma mincing, hahaha….” Rere ketawa.

“Rere……..” Sicila memeluk perempuan yang bernama Rere itu, ia menangis sesegukan.

“Yah nangis, cemen lu kaya bukan Sicilia tralalalalalala aja,” Rere berusaha menghibur sahabat kecilnya itu.

“Re, kali ini gua beneran suka, gak main-main,” ucap Sicilia dalam tangis.

“Ya lu gitu, Gian sebaliknya, susah Sic, realita emang gak seindah khayalan kita.”

Mendengar penjelasan Rere, tangis Sicilia semakin pecah. Selang beberapa menit ia berusaha tegar kembali sebagaimana biasanya.

“Gamalu nangis?” Tanya Rere memojokan.

“Hahaha, jahat lu Re….” Satu bantal terbang dan mendarat di wajah Rere.

“Jijik banget gua, sejak gua kenal lu di bangku TK, baru kali ini deh gua liat lu kaya manusia asing di depan gua,” ucap Rere dengan heran.

“Iya Re, lu juga harus tau, baru kali ini gua bener-bener suka sama orang,” jelasnya.

#Sekarang

“Bagus Gi, kamu mengambil jalan yang tepat. Andai saja kamu mengambil jalan yang lain, mungkin aku semakin terpuruk karenamu.” Sicilia berusaha tersenyum, pedahal ia diam-diam menahan tangis yang sebentar lagi akan tumpah.

“Ya, begitu,” ucap Gian.

“Dulu, aku pernah demam gara-gara kesal dengan semua sikap kamu, badanku menggigil, Aku menulis panjang dengan linang air mata dan hanya Rere yang tau tentang hal itu,” ucap Sicilia sambil mengenang kejadian pahit itu, sebetulnya ia sudah mengubur semua kenangan itu, namun keadaan memaksanya untuk menggali kembali.

“Nah, baru segitu sudah tergores, gimana kalo lebih dalam, iya kan?” tanya Gian.

“Iya, Gi.”

Sicilia tersenyum mendengar semua penjelasan itu, ternyata selama ini cintanya tidak bertepuk sebelah tangan, hanya saja orang yang ia cintai takut melukai hatinya, bukankah itu lebih baik?

“Kamu mau kemana?” Tanya Gian saat melihat Sicilia beranjak dari duduknya.

“Ke kelas,” jawanya polos.

“Lima menit lagi keluar,” Gian mengingatkan.

“Iya kah?” tanya Sicilia.

“Udah, duduk lagi!” pinta Gian.

“Eh, tapi itu…”

“Apa?” tanya Gian.

“Tasku,” jelas Sicilia.

“Minta tolong Mira aja,” kata Gian.

“Haha iya, ide bagus,” timpal Sicilia.

Sicilila segera fokus ke layar hape, mencari kontak Mira dan segera mengirimkan pesan.

“Sic,” ucap Gian yang kini sudah kembali berdansa dengan bukunya.

“Baik,”

“Kamu masih suka aku?” tanya Gian.

“Kalo iya, kenapa? Kalo enggak, kenapa?” Sicilia balik bertanya.

“Jawab dulu pertanyaanku bukan balik bertanya, ga sopan itu.” Gian menyimpan bukunya kedalam tas.

“Haha, iya,” jawab Sicilia.

“Iya apa?” tanya Gian.

“Apa aja yang perlu di iyakan,” jawab Sicilia.

“Iya suka kan?” tanya Gian, memastikan.

“Iya,” Jawab Sicilia dengan santai.

“Alhamdulillah,” ucap Gian sambil mengelus dadanya.

“Kenapa emang Gi?” kini bagian Sicilia yang bertanya.

“Aku juga suka kamu dari dulu, dan sekarang waktu yang tepat untuk mengutarakannya,” jelas Gian.

“Suka doang, repot banget sih,” ucap Sicilia dengan raut wajah santai meski dalam hatinya tak ada kesantaian sedikit pun. Ingin sekali rasanya segera ketemu Rere dan menceritakan tentang semua itu.

“Kita menjalin hubungan yang lebih serius ya,” ajak Gian.

“Aku sih….” Sicilia mencari kalimat yang tepat.

“Sic….” ucap Gian lembut.

“Sic….” ucap Gian mendekat.

“Sic….” ucap Gian menunggu jawaban. Namun Sicilia masih diam, ia tertunduk.

“Sicilila, bagaimana???” tanya Gian.

“Gian, dengarkan aku baik-baik untuk kali ini saja,” pinta Sicilia, ia menatap tajam wajah Gian “Gi, mencintai bukan untuk saling memiliki, belajarlah untuk sampai pada puncak cinta yaitu ikhlas, kabahagiaan orang yang kita cinta lebih penting dari pada status itu sendiri. Aku mencintaimu, dulu, sekarang dan mungkin sampai masa yang akan datang, tapi aku tak bisa menjalin hubungan serius denganmu karena aku dan kamu akan tetap menjadi diri masing-masing meski dalam kategori kita. Kecuali takdir kita memang berjodoh dan itu sekenarionya sudah Tuhan siapkan.” Jelas Sicilia.

Gian terdiam lesu, hatinya patah, sepatah-patahnya, Meski begitu, ia masih mampu memberikan senyuman pada Siclia, senyuman yang selama ini Sicilia tunggu.

“Terimakasih Sic, kamu baik, “ ucap Gian, menahan air mata yang akan tumpah.

“Kamu juga, Gi,” Sicilia lalu pamit untuk pulang.

(Puncak cinta itu ikhlas, cinta itu Rahwana pada Sinta, Umbu pada kekasihnya seperti bulan pada malam).

END

- Advertisment -

BACA JUGA