BerandaSuara MahasiswacerpenAkhir yang tak berujung

Akhir yang tak berujung

Oleh: Dewi Yanti

Entah sudah berapa jam aku duduk di kursi bis ini mendengar suara gemuruh jalan dan ditemani alunan lagu dari musisi jalanan yang sedang bernyanyi menemaniku dalam sebuah perjalanan panjang.

Dering handphone menyadarkan lamunanku, ternyata ada pesan dari orangtua.

“Nak, jaga diri baik-baik. Doa ibu dan ayah selalu menyertaimu”

Pesan singkat nan hangat itu seketika mengobati pikiranku yang sedang riuh akan berbagai perkataan yang sangat menggangu.

Entah sudah berapa hari aku mencoba berbagai cara agar pikiran ini tidak mengganggu, aku ingin menghirup udara segar, rasanya badan ini terasa kosong seperti raga tanpa nyawa.

Mari lihat kisahku yang sedang mencoba untuk berjuang kembali.

Cahaya matahari pagi ini mulai terasa masuk kedalam ruang jendela kamarku. Segera aku meninggalkan tempat tidur untuk melihat matahari hari ini.

Perkenalkan aku Arunika, gadis yang sangat menyukai cahaya matahari. Entah mengapa aku sangat menyukai cahaya matahari, namun kata ibu arti namaku yaitu cahaya matahari pagi sesudah terbit, mungkin itu alasan mengapa aku sangat menyukai cahaya matahari sedari kecil.

Hari ini aku akan pergi ke kampus, setelah 4 tahun aku menimba ilmu disana, akhirnya keinginan yang sudah kudambakan terwujud. Ya hari ini aku sudah resmi menjadi seorang Sarjana, bukan lagi seorang mahasiswa. Ayah dan Ibu turut menemaniku untuk menghadiri hari yang spesial ini. Mereka sangat senang melihat aku yang akhirnya wisuda setelah berbagai cobaan yang ternyata bisa kulalui. Beberapa waktu lalu aku tidak menyangka akan sampai dititik ini. Entah sudah berapa kertas yang sudah ku coret bahkan ku robek, mereka seolah menertawakan goresan yang sudah ku tulis, namun aku bersyukur bisa sampai dititik ini.

Semesta seolah ikut merayakan hari bahagiaku dengan menerangi langit yang begitu indah nan cerah ini. Bahagiaku tak bisa ku jelaskan namun raut wajah yang begitu ceria mungkin bisa menandakan bahwa aku sangat bahagia.

Tepat setelah acara wisuda, aku bertemu dengan seseorang. Ia sering ku sebut si tuan yang dingin, bagaimana bisa ada makhluk hidup sejenis manusia yang mempunyai kepribadian yang sangat dingin padahal hari ini matahari cukup terik?.

Aku menemuinya disebuah restoran yang ramai akan pengunjung. Ia mengatakan agar aku menunggu dan memesan makanan terlebih dahulu. Setelah menunggu hampir 10 menit, tiba-tiba dari arah pintu masuk kudapati seseorang tengah tersenyum sambil berjalan menghampiriku. Kini ia berdiri tepat di hadapanku dengan membawa sebuket bunga yang begitu cantik. Aku sangat mengenalinya ia si tuan yang dingin, pemilik hatiku yang selalu ku ingat setiap harinya, yang mengenalkan ku mengenai apa itu cinta.

“Selamat wisuda Arunika, maaf saya tidak bisa menghadiri acara wisuda mu di kampus” begitu katanya setelah ia duduk dihadapanku sambil menyodorkan sebuket bunga, yang sedari tadi sudah mengganggu penglihatan ku karena sudah tak tahan ingin menghirup aromanya.

Berjam-jam aku menghabiskan waktuku dengan tuan dingin tersebut, entah sudah berapa tempat yang kami datangi, entah sudah berapa gerbang tol yang kami lewati hanya untuk menghabiskan waktuku bersamanya, sampai langit sudah gelap aku baru tiba di rumah. Hari ini aku sangat bersyukur dikelilingi oleh orang-orang yang baik dan tentunya menyangi ku, aku sangat senang mungkin senang ku ini sedikit berlebihan atau mungkin terlalu berlebihan.

Hari ini langit tak secerah biasanya, tapi hari ku tetap berjalan lancar namun ada sepercik rasa khawatir yang menganggu pikiranku. Entah sudah berapa kali rasa ini hinggap pada diriku, berulang kali aku mencoba untuk tenang dan menyerahkan semuanya pada Tuhan, namun lagi-lagi rasa itu hadir. Mungkin ini sudah ke lima kalinya aku menunggu pengumuman yang sama. Setelah berbulan-bulan aku wisuda akhirnya aku melamar pekerjaan di perusahaan Indonesia. Tepat hari ini pihak perusahaan yang ku tuju memberitahukan apakah aku diterima atau tidak setelah melewati proses akhir melalui email. Lagi-lagi aku mendapatkan kegagalan yang ke 5 kalinya.

Bohong jika aku tidak merasakan sakit dan menangis saat gagal yang harus kembali ku terima. Hanya Isak tangis yang menemaniku hingga tertidur lelap yang mampu mengobati rasa sakit berharap saat bangun nanti ini hanyalah mimpi.

Hampir 1 bulan aku meratapi nasib ku yang tak berujung, orangtua ku sudah cemas, karena Aku tak pernah keluar kamar. Tubuhku setiap harinya semakin kurus, seolah tidak ada lagi tenaga untuk melanjutkan hidup. Hari-hari ku hanya diisi oleh tangisan bahkan merusak barang yang ada di dalam kamar, seolah sedang meratapi penyesalan. Akhirnya orangtua ku membawa ku ke rumah sakit, karena tubuhku semakin melemah setiap harinya.

Bau rumah sakit akhirnya sudah hilang dari Indra penciumku. Setelah beberapa hari yang lalu aku keluar dari rumah sakit, kali ini aku sudah mulai beraktivitas walaupun masih di dalam rumah saja. Namun ada hal yang tak bisa kuterima saat setibanya aku dirumah, saat ibu mengatakan “Run ini obat dari dokter yang harus kamu minum jika kamu merasakan kekhawatiran, cemas, sedih, bahkan bahagia yang berlebih. Kamu menderita gejala gangguan bipolar nak. Ibu gak tau harus berbicara seperti apa agar kamu nantinya tidak sedih, namun ibu harus menyampaikan ini karena ini untuk kebaikan kamu, Kamu harus ikhlas menerima ini nak, ibu dan ayah selalu ada untuk kamu” dengan nada yang pelan ibu berbicara kepadaku sambil mengelus Surai rambutku. Tak ada air mata yang mengalir pada diriku. Aku hanya terdiam dan mencoba untuk menerima. Bohong jika aku sebenarnya baik-baik saja setelah mendengar ibuku berbicara. Karena kali ini aku hanya sedang mencoba menerima.

Beberapa bulan aku tidak bertemu dengan si tuan yang dingin, kini aku beranikan untuk bertemu dengannya setelah sekian lama aku menghindar. Ia datang dengan senyuman yang tak pernah berubah, yang selalu membuatku ingin tersenyum ketika melihatnya. Dia sudah ada di hadapanku dengan tatapan yang begitu dalam “kamu jahat sekali run, meninggalkan pria yang begitu menyangi mu” kataku dalam hati. Aku tak bisa berkata-kata namun mataku mulai mengeluarkan air mata. Aku segera berlali meninggalkan ia, setelah mengucapkan kata maaf padanya.

Aku yang sedang mencoba menerima keadaan, memutuskan untuk meninggalkan rumah agar bisa mengistirahatkan hati dan pikiran ku. Mencoba untuk bisa berjuang kembali, karena hidup adalah tentang perjuangan.

- Advertisment -

BACA JUGA