Bagian 4 : Ketika Maaf Mempererat Tali Cinta Keluarga

0
67 views

Nasya telah sampai di kontrakan, saat itu juga ia bergegas langsung membagikan ketupat pada tetangga-tetangganya sesuai dengan intruksi bi Jum.

“Pahala berbagi makanan kepada orang yang berpuasa sama dengan pahala yang berpuasa. Saya dapat pahala, begitu pula Bi Jum yang memberikan ini kepada saya untuk dibagikan,” batinnya.

Nasya tersenyum puas melihat senyum dan ucapan terima kasih dari tetangga nya saat menerima ketupat yang ia bagikan. Di antara tetangga nya, ada seorang perempuan usianya sekitar empat puluh tahunan duduk di depan teras sambil menjaga anak kembarnya yang masih mungil nan lucu.

“Bu Ning, ini untukmu,” ucap Nasya ramah sambil menyerahkan satu ikat ketupat kepada Bu Ning, yang mungkin juga sedang menanti suaminya pulang bersama anak-anaknya.

Bu Ning tersenyum lebar. “Terima kasih, Nasya, semoga Allah memberkahi rizkimu.”

Senyum Nasya semakin merekah mendengar doa yang diucapkan Bu Ning. Lebih banyak doa yang diucapkan semakin mudah untuk tembus pada telinga Tuhan. Hal itu membuatnya menghaturkan rasa syukur, karena ia percaya bahwa setiap doa yang tulus akan sampai kepada Tuhan.

Nasya masuk ke dalam kontrakan, ia merasa lelah dan kemudian merebahkan tubuh di atas tempat tidur mungilnya. Sambil menyaksikan langit-langit yang ia hiasi dengan lukisan asal dari cat yang ia buat. Dengan tangan yang masih menggenggam seikat ketupat lainnya.

“Bi Jum pasti senang jika tahu ketupat ini dibagikan dengan baik,” gumam Nasya.

Tak lama setelahnya, ponsel nasya berdering menunjukkan tanda notifikasi. Rupanya itu pesan dari Mamah.

“Kabar Mamah baik, Nasya kapan pulang? Mamah juga rindu, semua disini merindukan Nasya. Opung telah satu bulan meninggal, Nasya tau?” pesan dari Mamah melalui aplikasi WhatsApp.

“Innalillahi, mengapa tidak ada yang mengabari Nasya?” balas Nasya.

“Rasya telah mencoba untuk menghubungi Nasya, tapi tidak bisa. Dengan melihat pesan ini Mamah jadi tau kenapa Aa gak bisa hubungi Nasya, sejak kapan Nasya ganti nomor?” pesan dari Mamah.

“Oh iya, maaf yah Mah, Nasya lupa ngabarin kalau Nasya ganti nomor. Udah hampir satu tahun.”

Percakapan pesan itu berakhir begitu Mamah mengirimkan kata-kata yang mengharukan,

“Tahun ini Nasya pulang yah, mamah mau lihat Nasya. Kalau Nasya tidak pulang, entah apa kita bisa bertemu lagi nanti. Selama Mamah masih sehat, Mamah ingin terus melihat wajah Nasya. Sesekali memeluk walau tidak sesering dulu saat Nasya dan Aa masih kecil.”

Nasya lantas mengirimkan emoticon penuh cinta.

Hari-hari telah berlalu dengan begitu cepatnya, libur cuti idul fitri pun sudah dimulai. Nasya mericuhkan kontrakannya dengan berbagai macam pakaian yang hendak ia masukkan ke dalam koper, serta bingkisan-bingkisan yang menutup hampir ke seluruh lantai. Di sisi lain, Rona ada di tempat itu dengan membantu Nasya untuk merapihkan apa yang hendak dibawa pulang.

“Cuti berapa hari, Sya?” tanya Rona.

“Cuma dua minggu doang, Tante. Nanti juga seminggu setelah lebaran, balik lagi ke kota,” jawab Nasya dengan terus melipat pakaian.

“Jangan lama-lama yah! Sepi nih kontrakan tante, semua pada mudik” kata Rona melihat Nasya dengan tatapan tajam.

“Siap Tante!”

Nasya merenung sejenak, ia merasakan kehangatan suasana Ramadhan masih menyelimuti hati meski hari raya akan tiba. Senyum-senyum tetangga yang menerima ketupatnya kemarin masih terbayang di pikirannya, memberikan rasa bahagia yang tak akan pernah dilupakan.

Saat tengah bersiap untuk pulang kampung, Nasya merasa ada rasa haru campur bahagia. Dimana ia merindukan sekecil momen Ramadhan di kontrakannya, momen-momen sederhana yang penuh makna. Namun, kerinduannya akan pulang kampung juga tidak bisa ia tunda. Nasya telah menanti pertemuan ini sejak satu tahun yang lalu, bertemu dengan keluarga, sahabat-sahabat lama, dan tentu saja merindukan lezatnya hidangan buatan mamah pada hari raya.

“Sudah selesai, Sya?” tanya Rona sambil menatap koper yang hampir penuh.

“Sudah, Tante. Terima kasih banyak ya sudah membantu,” ucap Nasya sambil tersenyum.

“Tidak apa-apa, sayang. Ingat, jangan lupa datang lagi setelah lebaran ya. Nanti tante sedih di sini,” goda Rona pada Nasya.

Nasya hanya tersenyum dan mengangguk. Dia tahu betul betapa Rona memperlakukannya seperti anak sendiri selama dia tinggal di kontrakan itu.

Setelah selesai, Nasya meninggalkan kontrakan itu dengan perasaan campur aduk. Dia bahagia karena akan bertemu keluarga, namun juga sedih meninggalkan rumah sederhana yang telah menjadi tempatnya menghabiskan bulan suci Ramadhan.

Di perjalanan pulang, Nasya melihat bunga-bunga yang mekar di pinggir jalan. Mereka menyerupai ketupat, mengingatkannya pada momen-momen selama Ramadhan yang indah. Dia tersenyum, yakin bahwa meski Ramadhan hampir berakhir, semangat dan kebahagiaannya akan terus mekar seperti bunga-bunga itu.

Dengan hati yang penuh syukur, Nasya melanjutkan perjalanan pulang, membawa kenangan manis Ramadhan dan harapan baru di hari lebaran yang telah tiba.

Selama hampir 8 jam perjalanan menuju kampung halaman. Pohon rindang yang menyelimuti jalanan kian membuatnya merasa tenang dan damai. Sinar matahari yang lembut menyorot pada dinding kaca bus, memberikan sentuhan hangat pada perjalanan Nasya. Sesekali, daun rindang ditiup angin sepoi-sepoi seolah menyambutnya.

Sesampainya di kampung halaman, Nasya terdiam pada satu titik. Rupanya ia tengah menanti seseorang untuk menjemputnya dari terminal ke rumah. Dari jarak sepuluh meter dalam pandangan, seorang pria melambaikan tangan dengan berteriak, “NASYA!!!” sahutnya.

Nasya tersenyum atas kedatangan laki-laki itu, ia justru tak segan-segan untuk memeluknya.

“Gimana rasanya satu tahun gak ada kabar?” celetuk pria itu membuat Nasya langsung melepaskan pelukannya.

“Gak usah langsung di ulti. Bawain nih. Berat!” Ketus Nasya dengan membiarkan barang bawaannya ditinggal bersama pria itu.

Pria itu pun tertawa kecil melihat reaksi spontan adiknya. Rasya mengambil beberapa barang bawaan Nasya dengan senang hati. Mereka berdua berjalan bersama menuju mobil yang sudah diparkir di dekat terminal.

“Maaf ya, Aa. Nasya gak bisa kabarin kalau ganti nomor, jadi gak bisa dihubungin,” ujar Nasya penuh penyesalan.

“Ah, gak masalah, Sya. Yang penting sekarang kita bisa bertemu dan kumpul-kumpul lagi,” ucap Rasya sambil tersenyum hangat. “Lagi pula nih, kata Rasulullah dalam Hadits bukhari, Iman yang paling utama adalah sabar dan pemaaf atau lapang dada,” imbuhnya.

Nasya mengangguk setuju, ia merasa lega bahwa kesalahpahaman itu bisa diselesaikan dengan mudah. Nasya merasa beruntung memiliki seorang saudara seperti pria di sampingnya, yang selalu mengerti dan menerima dirinya apa adanya walaupun terkadang cukup menyebalkan.

“Aa sih memaafkan yah, tapi gak tau tuh kalau Opung. Cucu kesayangannya gak datang di saat-saat terakhir, bahkan tidak menemani sampai pemakaman”

Nasya dengan spontan mencubit pinggang pria di sebelahnya dengan lantas berkata, “astagfirullahal’adzim, nyebelin!” kesal-rindu-amarah bercampur aduk kala itu.

Perjalanan menuju rumah berlangsung dengan penuh keceriaan, juga pertengkaran kecil yang biasa terjadi pada hubungan adik-kakak. Nasya dan Rasya saling bertukar cerita tentang apa yang telah terjadi selama setahun terakhir, tertawa bersama, kesal bersama, marah bersama dan merasa bahagia bisa bertemu serta bersama lagi di hari yang spesial ini.

Sesampainya di rumah, Nasya disambut dengan hangat oleh keluarga dan kerabat yang kebetulan sedang berkumpul kala itu. Suasana kebersamaan dan kebahagiaan memenuhi rumah, membuat Nasya merasa betul-betul pulang ke tempat yang tepat. Namun ia merasa sedikit sedih, tiadanya Opung membuatnya berpikir seakan ada yang kurang.

“Selamat datang putri cantikku,” kata Mamah sambil merentangkan tangan, seolah mengajak Nasya untuk memeluknya.

Nasya pun berlari ke arahnya, ia merasa hangat di dalam pelukan Mamah. Ia tak henti-henti mengucapkan kata maaf atas ketiada kabar tentang dirinya kepada ibu yang telah melahirkannya itu.

Pada hari raya, Nasya tak lupa merasa bersyukur bisa kembali ke rumah dan bersama keluarga tercinta di hari yang istimewa ini. Semua yang telah dia lalui selama setahun terakhir, semua momen indah dan sulit, kini menjadi sebuah kenangan yang tak akan pernah ia lupakan. Di hari yang fitri ini, Nasya merasa bahwa kebahagiaan dan cinta yang mereka bagi bersama keluarga dan kerabatnya adalah yang paling berharga dari segalanya.

Mereka semua berbondong-bondong menuju meja makan yang telah disediakan dengan hidangan lezat khas lebaran. Tawa dan cerita pun terus mengalir, mengisi ruangan dengan kehangatan dan kebahagiaan yang tak tergantikan.

Di tengah-tengah semua itu, Nasya merasa bersyukur atas segala berkat yang telah diberikan kepadanya. Dia merasa penuh cinta dan terima kasih kepada Tuhan, atas segala kebaikan dan kebahagiaan yang telah dia rasakan di hari yang istimewa ini.

Tamat.

Penulis: Lydia
Editor: Nazna