BerandaSuara MahasiswaopiniDeretan Pasal KUHP yang Mengancam Demokrasi 

Deretan Pasal KUHP yang Mengancam Demokrasi 

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) telah disahkan menjadi KUHP oleh DPR-RI saat rapat paripurna pada Selasa, 6 Desember 2022. Hal tersebut telah memantik protes masyarakat secara luas.

Karena KUHP dianggap masih banyak pasal karet yang dapat mengekang kebebasan masyarakat. Berikut ini adalah deretan pasal-pasal yang dianggap bermasalah:

Pertama, pasal 218 RKUHP

Bunyi Pasal 218 ayat (1) RKUHP:

“Setiap Orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV”.

Pasal ini sangat rawan untuk disalahartikan oleh aparat penegak hukum untuk membungkam kritik terhadap pemerintah yaitu Presiden dan Wakilnya. Bahkan sampai saat ini, banyak pihak yang terjerat kasus penghinaan terhadap penguasa, padahal yang mereka kritisi adalah kebijakan dan kinerja pemerintah negara.

Kedua, pasal 219 RKUHP

Bunyi Pasal 219:

“Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV”. Dan pasal 220:

(1) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan Pasal 219 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan. (2) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara tertulis oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Ketiga, pasal 240 RKUHP

Bunyi pasal 240 RKUHP ayat (1) dan (2):

“(1) Setiap Orang yang Di Muka Umum dengan lisan atau tulisan menghina pemerintah atau lembaga negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II”.

“(2) Dalam hal Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV”.

Maksud, dari pasal ini menyatakan bahwa semua orang bisa diancam pidana penjara 3 tahun jika menghina pemerintah di media massa atau media sosial. Pasal ini bisa berpotensi mengkriminalisasi siapapun yang melayangkan ketidakpuasan mereka terhadap kinerja pemerintah. Dalam hal ini Pemerintah dianggap sebagai antrikritik dan kembali membangunkan zaman orde baru.

Keempat, pasal 241 RKUHP

Bunyi pasal 241 ayat (1) dan (2) RKUHP berikut ini:

“(1) Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap pemerintah yang sah dengan maksud agar isi penghinaan diketahui umum, dipidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun. (2) Dan Apabila berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV”.

Maksud pasal ini yaitu ancaman hukuman penjara 3 tahun yang disebutkan dalam pasal 240 RKUHP akan dinaikkan menjadi 4 tahun jika penghinaan yang dimaksud dilakukan di media sosial.

Kelima, pasal 256 RKUHP

Berikut bunyi pasal 256 RKUHP:

“Setiap Orang yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenang mengadakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan umum atau tempat umum yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II.”

Pasal ini mengatur mengenai aksi/demonstasi yang akan dilakukan oleh masyarakat atau mahasiswa. Padahal aksi unjuk rasa atau demonstrasi merupakan salah satu bentuk penyampaian pendapat di muka secara umum yang dijamin oleh undang-undang.

Padahal tadinya dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Kebebasan berpendapat di muka umum. Dalam UU tersebut domonstrasi tanpa izin cukup dikenakan dengan tindakan administrasi yaitu pembubaran.

Penulis: Olis

- Advertisment -

BACA JUGA