BerandaSuara MahasiswaGanja di Tanah Kita

Ganja di Tanah Kita

Penulis: Muhammad Ervin Nizar (Mahasiswa Sejarah Peradaban Islam)

Bicara cannabis sativa, yang kita kenal akrab dengan nama ganja memang menjadi topik yang hangat dibicarakan mutakhir ini. Pasalnya, legalisasi ganja untuk kebutuhan medis menjadi sorotan dunia Internasional pun di Indonesia.

Ganja mutakhir ini memang menjadi persoalan yang bukan lagi dibicarakan oleh kaum muda saja. Pasalnya, jika pemirsa ingat beberapa bulan ke belakang tepatya di momentum Hari Narkotika Nasional kemarin dalam acara Car Free Day (CFD) ramai beredar di media sosial seorang ibu membawa poster bertuliskan “Tolong Anakku Butuh Ganja Medis” menuai banyak perhatian publik. Hal ini tak lain bahwa dalam beberapa keterangan, anaknya yang bernama Pika adalah pengidap Celebral Palsy yang pengobatannya menggunakan ekstrak ganja dengan kandungan Cannabinoid (CBD) di dalamnya.

Masalahnya adalah, di Indonesia hari ini, posisi tanaman Ganja mausk ke dalam Narkotika Golongan 1 yang tidak bisa digunakan untuk kebutuhan medis hanya untuk pengembangan ilmu pengetahuan, riset dan teknologi.

Padahal, lebih dari 15 negara sudah melegalkan ganja dan memanfaatkannya untuk kebutuhan pengobatan. Salah satunya Thailand negara tetangga kita, yang beberapa bulan ke belakang melegalkan ganja demi mengambil manfaat untuk kebutuhan medis bahkan untuk produk kosmetik dll, seperti di Perancis.

Sejak 2011 silam, perkumpulan lingkar kecil-kecilan yang awalnya biasa-biasa saja, kini menjadi satu komunitas yang menjadi rujukan banyak orang soal kampanye legalisasi ganja di Indonesia, hal ini seolah membuka mata banyak orang demi menghilangkan phobia buruk tanaman satu ini. Lingkar Ganja Nusantara, selanjutnya disebut LGN memang menjadi satu komunitas yang fokus mendorong legalisasi ganja di Indoensia.

Lingkar Ganja Nusantara (LGN) dalam hal ini yang diprakarsai oleh Dhira Narayana, dkk, memang fokus mendorong dan memperjuangkan legalisasi ganja untuk kebutuhan medis di Indonesia. Serupa tanaman lain, ganja mustinya punya hak untuk hidup di tanah kita. Lebih dari itu, dalam banyak jurnal Internasional pembahasan soal ganja sudah banyak diteliti dan walhasil riset banyak menyebutkan bahwa ganja punya segudang manfaat bagi kehidupan manusia, salah satunmya untuk pengobatan.

Seperti disampaikan di muka seorang ibu yang membawa poster “Tolong Anakku Butuh Ganja Medis” menuai banyak perhatian itu sebetulnya menjadi cambukan bagi pemerintah kita. Pasalnya, kasus demikian bukan saja hanya terjadi kemarin, tapi sejak beberapa tahun silam terjadi di negeri Wakanda . Jika pemirsa tau kisah seorang anak bernama Musa yang kemudian dijadikan judul dalam film domumenter itu setidaknya membangunkan sisi kemanusiaan kita. Maka harusnya pemerintah kita sudah bisa membuka mata akan hal itu dan tidak lagi memakai hukum kolot-konservatif, karena bukan saja hanya Musa, masih banyak orang yang butuh ganja medis.

Sejak paruh pertengahan abad 20 silam, ganja menjadi tumbuhan yang diberi label haram sejak konvensi tunggal PBB (Single Convention on Narcotic Drugs) yang membahas soal narkotika, kemudian disalin ulang menjadi UU Narkotika di Indonesia sejak tahun 1976. Sejak saat itulah muncul dan menjamurnya stigma buruk soal ganja di kalangan masyarakat ditambah fatwa agama yang menjadi alat legitimasi kuat seolah-olah ganja tanaman yang iuhhh banget sampai-sampai tidak diberi hak untuk hidup, buktinya dibakar dalam jumlah banyak. Hal ini berbanding terbalik dengan miras yang jelas-jelas dalam al-kitab umat muslim diharamkan, tapi legal untuk dikonsumsi di Indonesia, padahal secara mayoritas penduduk di Indonesia adalah beragama Islam, yaa.. walaupun hanya dalam KTP. Itulah ganja di tanah kita, ganja yang kita lihat.

Oke, sob, selesai itu, saya ingin mengajak sederek pembaca sekalian menelusuri sedikitnya ikhwal perganjaan dalam peradaban umat manusia dengan mengawalinya pada perkataan seorang muslim bernama Malik Sfeir yang bicara bahwa, tumbuhan ganja sebetulnya sudah dikenal bangsa Arab dan peradaban Islam sejak dulu. Ia menyebut nama Ibnu Sina alias Avicenna dalam sebutan orang Barat penyusun ensiklopedia kedokteran The Canon of Medicine (1025). Dalam ensiklopedia itu dinyatakan bahwa ganja adalah pengobatan yang efektif untuk berbagai penyakit semisal asam urat, edema, luka menular, dan sakit kepala parah. Karyanya ini diakui dan diamalkan oleh praktisi pengobatan Barat selama berabad-abad. (Merujuk tulisan Patri Handoyo, Malik Syfeir, Muslim Arab Saudi yang Aktif Perjuangkan Pengobatan Ganja).
Nah.. kan, ganja sudah dipakai ilmuan muslim sebagai tanaman obat.

Apalagi Ibnu Sina, tokoh yang hampir semua umat muslim mengenalnya. Bagaimana sejauh ini, sudahkan terangsang untuk jadi bagian penyebar kebiakan?. Lohh, Iya, kalo saja ganja legal di Indonesia, kita sudah membantu orang-orang pengidap Selebral Palsy yang pengobatannya pakai ekstrak ganja, termasuk tulisan jelek ini jadi saham penyumbang kebaikan, yakan? Hhe.. kita lanjut, sob.

Bukan saja kalangan muslim Jazirah Arab, di Indonesia pun, di Aceh, tanaman ganja jauh sebelum UU Narkotika ada, tanaman ganja sudah menjadi obat tradisional untuk berbagai penyakit.
Selain pemanfaatan untuk medis, ganja juga menjadi jembatan penghantar ibadah masyarakat Hindu India. Hal ini menjadi gambaran bahwa, ganja mempunyai manfaat terhadap dalam banyak hal. Di India, ada satu tradisi penting masyarakat Hindu yang bersentuhan dengan tenaman ganja Festival Maha Shivaratri yang jatuh setiap 11 Maret menandai bergantinya musim. Festival ini diperingati sebagai bentuk perayaan untuk menghormati Dewa Siwa.

Selain untuk medis, sama halnya dengan India, ganja di Nepal menjadi satu tradisi unik masyarakat Hindu. Orang-orang suci Hindu di Nepal  melakukan prosesi penting dalam agamanya. Yang dimaksud tak lain adalah membakar ganja dan mengisapnya. Secara ramai, biasanya orang-orang Hindu berkumpul di sekitar Kuil yang dipadati pengisap ganja untuk merayakan festival tersebut. Padahal Ada larangan untuk mengisap ganja, tapi mereka juga harus menghormati tradisi yang sudah ada berabad-abad lamanya. Tak hanya itu, selama berabad-abad pula, masyarakat Nepal telah memanfaatkan batang, daun, dan getahnya untuk tekstil, pangan, obat-obatan, serta ritual keagamaan.

Dari sini terlihat bahwa ganja telah digunakan dan dimanfaatkan dalam banyak hal di beberapa peradaban; India, Nepal, beberapa negara Jazirah Arab, Nusantara dan banyak lagi. Harusnya hari ini pemerintah Indonesia tidak lagi menutup mata akan manfaat ganja dan tidak mempertahankan hukum konservatif Narkotika di Indonesia.

Tapi sialnya lagi-lagi, pemerintah kita masih keukeuh dengan regulasi baheula UU Narkotika hasil ratifikasi Konvensi Tunggal PBB 1961 tersebut. Parahnya lagi, hasil salin ulang tersebut yang kemudian jadi UU Narkotika memasukkan ganja ke golongan satu seolah melekat dan berhasil membuat stigma buruk terhadap masyarakat Indonesia, ini, sih, persoalan yang sulit kita ubah.
Ganja yang kita lihat di tanah ini seakan mencerminkan hal negatif di mata masyarakat, sampai-sampai label haram diberikan pada tanaman yang mutakhir ini jadi isu berkembang di Indonesia. Seperti penjelasan di muka, hampir 15 negara sudah memanfaatkan ganja sebagai tanamam obat.

Jika melihat beberapa negara yang sudah melek akan banyaknya manfaat ganja, tak heran lagi obrolan ikhwal ganja menjamur di Indonesia. Tentu, hal ini menjadi angin segar dan jadi bagian upaya kecil untuk mengubah stigma masyarakat terhadap ganja.

Bicara Ganja, berarti bicara soal peradaban manusia. Maka masih banyak hal yang belum tersampaikan dalam tulisan ini, termasuk kandungan, manfaat, perang pasar gelap, monopoli perdagangan, dan banyak lagi.

- Advertisment -

BACA JUGA