BerandaSejarahGeger Cilegon, Perlawanan Warga  Banten terhadap Kezaliman

Geger Cilegon, Perlawanan Warga  Banten terhadap Kezaliman

Pemberontakan Petani Banten Tahun 1888 atau  lebih dikenal dengan sebutan Geger Cilegon Tahun 1888 merupakan pemberontakan petani terbesar yang terjadi pada tanggal 9 Juli 1888 setelah VOC membubarkan Kesultanan Banten pada tahun 1813  dan mendahului Pemberontakan Tani tahun 1926 di Anyer (bertujuan untuk kemerdekaan) .

Geger Cilegon dipelopori oleh seorang tokoh agama  bernama Haji Wasyid atau sering disebut Ki Wasyid. Pemberontakan berawal dari kesewenang-wenangan  Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang menduduki Banten sebagai salah satu wilayah taklukan/kolonial.

Menurut Sartono Kartodirdjo dalam jurnal nya yang berjudul “Pemberontakan Petani Banten 1888”, Penyebab terjadinya pemberontakan tahun 1888 adalah pejabat pemerintah kolonial  Cilegon mengeluarkan surat edaran kepada bawahannya yang melarang pembacaan sholawat Nabi dan salat lainnya  di masjid.

Pemerintah kolonial juga menghancurkan menara masjid Cilegon karena sudah terlalu tua. Banyak orang bereaksi terhadap penghinaan ini  dalam bentuk pemberontakan dengan tujuan yang  lebih besar yaitu membebaskan wilayah tersebut dari kendali Belanda.

Kondisi tersebut diperparah dengan meletusnya Gunung Krakatau di Selat Sunda pada tanggal 23 Agustus 1883. Letusan tersebut menimbulkan gelombang pasang yang menghancurkan Anyer, Caringin, Sirih, Pasuruan, Tajur  dan Carita. Selain itu, terjadi kelaparan, penyakit pes atau penyakit yang di sebabkan dari hewan ternak. Fenomena ini berlangsung selama 5 tahun. Salah satu  Ki Wasyid yang menentang penduduk VOC juga disebut-sebut.

Sebelum melakukan pemberontakan, Ki Wasyid dan kawan-kawan melakukan persiapan dengan mengadakan pertemuan untuk membahas strategi pemberontakan yang akan dilakukan nantinya.

Menurut Muhammad Sofan Ansori dalam buku hariannya “Kepemimpinan Kiyai Wasyid dalam Kepemimpinan Pemberontakan Geger Cilegon Tahun 1888”; 22 Juni 1888 M  Pemberontakan terjadi pada hari Sabtu, 17 Juli 1888. Serangan dimulai setelah salat subuh dan dikenal dengan sebutan “serangan fajar”. Serangan itu dilakukan secara serentak dan tidak terduga di setiap daerah. Setelah serangan itu berhasil semua bersatu untuk menyerang kota Serang.

Pada saat di pimpin oleh Haji Washid ia melakukan Pemberontakan kepada kolonial Belanda karena mempunyai keinginan untuk bisa kembali mengumandangkan azan melalui pengeras suara, karena pada saat itu mereka di larang untuk mengumandangkan nya.

Sementara itu, bersamaan dengan serangan yang di lakukan oleh Haji Tubagus  Ismail, perlawanan terjadi di  tenggara kelompok pemberontak Cilegon disuruh pergi ke kepatihan. Namun sesampainya di Kepatihan Para Para pemberontak tidak dapat menguasai gubernur yang  saat itu  berada di Serang.

Dalam situasi kacau ini, Henri Francois Dumas, seorang pejabat di asistennya warga Haji Tubagus Ismail mungkin telah membunuh, begitu pula Raden Purwadiningrat, asisten kolektor, Johan Hendrik Hubert Gubells, asisten  Anyer, Mas Kramadireja, sipir Lapas Cilegon dan Ulric Bachet, kepala penjualan garam mereka semua adalah orang-orang yang tidak disukai orang.

Ketika Ki Wasyid dan kawan-kawan berhasil menaklukkan Kota Cilegon. Kini pemberontak menyerbu kota Serang sebagai salah satu ibu kota penduduk. Ki Wasyid beranggapan bahwa seluruh wilayah di sekitar kota Cilegon harus ditaklukkan.

Agar tidak terulang kembali  kejadian  tahun 1850, para pemberontak  mengandalkan Suradikariya daripada Haji Wasyid untuk segera kembali ke desa Untuk menyelamatkan keluarganya, jelas Haji Wasyid harus melakukan hal tersebut membatalkan sepenuhnya untuk memulai serangan baru seperti ini Pemerintah Belanda yang  saat itu dibantu Batavia bermaksud mengambil tindakan untuk menangkap para pemimpin pemberontak yang masih buron. Pemerintah Belanda terus menggencarkan ekspedisi militer menghancurkan para pemberontak, yang terbagi menjadi beberapa bagian desa Cilegon.

Reporter: Enjat
Editor: Een

- Advertisment -

BACA JUGA