BerandaNEWSLiputan KhususHari Pers Nasional: Persma di Kota Serang Rentan Diintimidasi

Hari Pers Nasional: Persma di Kota Serang Rentan Diintimidasi

“Saya takut, takut, kita benar-benar seperti diintimidasi,”

Pengalaman pahit ditentang dan diintimidasi oleh pemangku kuasa di kampus atas reportasenya sangat membekas bagi Yusti. Sehari sebelum dipanggil dan dicecar puluhan pertanyaan, Yusti menulis reportase ihwal carut marut fasilitas kampus, tempat dirinya menimba ilmu.

Ia meyakini, tulisan reportase yang dibuatnya saat itu merupakan bentuk partisipasi publik terhadap pembangunan dan pendidikan demokrasi yang lebih baik.

“Saya benar-benar seperti diintimidasi, padahal tidak sepenuhnya salah saya,” ucap Yusti dengan nada lirih

Yusti yang kini berusia 21 tahun menyayangkan sikap intimidasi yang terjadi pada dirinya. Menurutnya, mengemukakan pendapat melalui media adalah bagian dari ikhtiar anak muda dalam menghidupkan kembali nilai-nilai demokrasi.

“Saya menolak tindakan apapun yang membatasi seseorang dalam berekspresi,” katanya, Senin (31/1/2022).

Perempuan kelahiran Sukabumi itu tidak ingin pengalaman pahitnya dirasakan juga oleh anak muda yang sekarang sedang berproses di lembaga pers mahasiswa.

“Cukup sakali weh, ntong aya dei, nyah” ucapnya dengan logat Sunda.

Sementara itu, pengalaman serupa juga dirasakan oleh Hendriko, pegiat lembaga pers mahasiswa Extama. Pria berambut ikal itu menceritkan bagaimana kegetiran yang sedang dialami lembaga pers mahasiswanya saat ini.

“Banyaknya intervensi yang dilakukan pihak-pihak terkait membuat kami seperti dibatasi dan tidak leluasa dalam berkarya,” kata Hendriko saat diskusi dengar pendapat pendirian Aliansi Pers Mahasiswa Serang, (11/12/2021).

Mahasiswa yang sudah bergelut selama tiga tahun di dunia pers mahasiswa itu menjelaskan beberapa jenis intervensi yang pernah dialami LPM-nya. Mulai dari pelarangan merilis tulisan yang berbau kritik hingga ancaman droup out pernah dialami LPM-nya.

Tindakan tersebut, kata Hendriko, berhasil membuat anggotanya getir. Dan harus berpikir panjang jika akan merilis reportase soal kampus.

Ikhtiar Untuk Saling Merawat

Sementara itu, di hadapan 100 peserta kongres Aliansi Pers Mahasiswa Serang, Ahmad Khudori, Pemimpin Umum LPM SiGMA mengungkapkan kegelisahannya ihwal kondisi pers mahasiswa yang semakin menunjukan kehilangan arusnya.

Mahasiswa Akidah Filsafat UIN Banten itu mencoba menjelaskan kepada peserta kongres bagaimana tantangan yang sedang dihadapi oleh pegiat persma saat ini.

Maraknya intimidasi yang dilakukan oleh pemangku jabatan di kampus dalam merespon karya jurnalistik pers mahasiswa, kata Khudori, telah menciderai semangat kehidupan berdemokrasi.

Kondisi seperti inilah, menurut Khudori telah menurunkan giroh pegiat persma yang ada di Kota Serang.

Tidak hanya soal intimidasi, pria kelahiran Rangkas Bitung itu juga mengatakan, makna Pers mahasiswa juga selalu disalah artikan oleh sebagian orang, bahkan oleh pegiat persma itu sendiri.

Pers mahasiswa selalu diidentikan sebagai humas kampus yang memiliki kewajiban memberitakan program kerja perguruan tinggi dan dijadikan sebagai corong promosi untuk menarik minat calon mahasiswa baru.

“Sangat aneh jika persma dimaknai sebagai humas kampus dan tidak boleh memberikan kritik kepada kampus,” katanya dengan lantang.

Perlu adanya ikhtiar anak muda di Kota Serang dalam merawat idealisme dan kebebasan pers mahasiswa. Dalam hal ini, Khudori menuturkan, sangat penting bagi pegiat pers mahasiswa yang ada di Banten, khususnya yang ada di Kota Serang, membangun satu wadah advokasi dan kajian untuk mengedukasi anak muda yang bergelut di persma.

“Setelah beberapa lembaga pers mahasiswa di Kota Serang mengalami intimidasi, penting bagi kita menyatukan diri, bersinergi membangun Aliansi Persma,” katanya, mengajak.

Kalimat senada juga diucapkan oleh Gumilang, Pemimpin Umum LPM Bidik Utama Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Ia mengatakan, Pers mahasiswa sangat rentan terjerat UU ITE, karena sampai saat ini, tidak ada payung hukum yang secara spesifik melindungi pegiat persma dari jeratan pidana.

“Pers mahasiswa sendiri sampai saat ini belum memiliki payung hukum yang melindungi kita sebagai pegiat persma,” kata Gumilang menjelaskan

Sebagai salah satu contoh, dua jurnalis pers mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) Balairung, pernah dipanggil oleh Polisi karena reportasenya soal laporan kekerasan seksual mahasiswa UGM. Pemanggilan polisi ini menunjukan kerentanan posisi pers mahasiswa.

Agar hal serupa tidak kembali dialami oleh pegiat pers mahasiswa, Gumilang meyakini, bersolidaritas sesama pegiat persma bisa jadi jalan alternatif lembaga pers mahasiswa Kota Serang supaya tetap teguh dalam menjadi mitra kritik penguasa, saat ini.

Penulis: Dani Mukarom
Ilustrasi: Doc.Google

- Advertisment -

BACA JUGA