BerandaSejarahMaria Walanda Maramis Pejuang Minahasa yang Memperjuangkan Pendidikan Perempuan

Maria Walanda Maramis Pejuang Minahasa yang Memperjuangkan Pendidikan Perempuan

Maria Walanda Maramis memiliki nama kelahiran dengan nama Maria Josephine Chattering Maramis, namanya berganti ketika ia menikah dengan Joseph Frederick Calusung Walanda, yang berprofesi sebagai seorang guru. Maria merupakan perempuan kelahiran Kema, Minahasa Sumatra Utara. Maria merupakan perempuan yang memiliki sudut pandang serta pikiran feminis dan optimis, karena pada saat itu kaum perempuan terikat pada tradisi dan hanya diperbolehkan sekolah sampai Sekolah Dasar (SD), pada saat itu pula Maria hanya mengenyam pendidikan sampai Sekolah Dasar saja.

Saat itu, adat-istiadat merupakan hambatan bagi kaum perempuan. Salah satunya, perempuan tidak boleh sekolah tinggi. Oleh karena itu, Maria bercita-cita agar anak perempuan dapat melanjutkan sekolah hingga ke jenjang yang lebih tinggi. Maria sering membandingkan perempuan Indonesia dengan perempuan Belanda yang dikenalnya. la melihat betapa tertinggalnya perempuan Indonesia dalam mengasuh anak, dari hasil pengamatannya, seorang ibu yang dapat mendidik anak dengan baik adalah seorang ibu yang memiliki pengetahuan yang luas.

Perlakuan pamannya yang tidak mengizinkannya melanjutkan sekolah, dirasakan sebagai sebuah perlakuan yang tidak adil, hal ini menjadikan Maria bersemangat agar menjadi perempuan yang berpendidikan.

Paman Maria yang merupakan orang terpandang di daerahnya, memiliki banyak teman orang Belanda. Di antara sekian banyak kenalan, ia akrab dengan salah satu keluarga pendeta Belanda, Ten Hov. Keluarga pendeta Ten Hov mempunyai pandangan luas di bidang pendidikan. Kedekatannya itulah membuka wawasan dan menyentuh hatinya sehinga kemudian Maria bercita-cita untuk memajukan perempuan Minahasa.

Perjuangan Maria membuahkan hasil. Sejak saat itu banyak gadis Minahasa yang melanjutkan sekolah di Jawa, baik di Sekolah Pendidikan Guru maupun STOVIA (School Tot Opleiding van Indlandse Artsen), sebuah sekolah kedokteran untuk pribumi. Sukses dengan keluarganya belum membuat Maria merasa puas, lalu Maria mendirikan perkumpulan yang diberi nama Percintaan Ibu Kepada Anak Keturunannya, yang kemudian disingkat menjadi PIKAT. Perkumpulan yang didirikan pada 8 Juli 1917 ini bertujuan untuk mendidik kaum perempuan yang tamat Sekolah Dasar dalam hal rumah tangga, seperti: memasak, menjahit, merawat bayi, pekerjaan tangan dan sebagainya.

Berdirinya PIKAT mendapat sambutan yang hangat dari masyarakat. Berkat kepemimpinan Maria, dalam tempo yang tidak terlalu lama PIKAT sudah memiliki cabang hampir disemua daerah di Minahasa, bahkan meluas ke Sangirtalaud, Gorontalo, Poso, dan Makassar. Di Jawa juga terbentuk cabang-cabang organisasi, seperti di Batavia, Bogor, Malang, Bandung, Cimahi, Magelang dan Surabaya. Di Kalimantan, cabang PIKAT didirikan di Balikpapan, Sangusangu, dan Kotaraja. Serta kegiatan-kegiatan PIKAT juga dimuat di beberapa surat kabar. Selain menulis berita, Maria juga menulis opini. Dalam opininya yang dimuat di surat kabar Tjahaja Siang, Maria menunjukkan betapa pentingnya peranan ibu dalam keluarga. Dalam jangka satu tahun, tepatnya pada 2 Juli 1918, PIKAT berhasil membuka Huishoud School atau Sekolah Rumah Tangga di Manado.

Perjuangan Maria yang sukses dengan sekolahnya itu menarik perhatian Pemerintah Hindia Belanda di Batavia. Pada tahun 1920, Gubernur Jenderal Van Limburg Stirum bersama istri mengunjungi Sekolah Rumah Tangga. Maria mengantarkan tamunya untuk meninjau sekolah tersebut, serta menerangkan segala sesuatu mengenai PIKAT dan sekolah yang didirikannya . Gubernur Jenderal Van Limburg Stirum dan istri sangat terkesan dengan kepribadian dan perjuangan Maria, perempuan pribumi yang berpikiran maju.

Tanpa diminta , pasangan suami istri pejabat tinggi Belanda itu memberi bantuan sebesar 40.000 gulden setara dengan jumlah yang tidak sedikit. Selain di bidang pendidikan, Maria juga memperjuangkan kepentingan politik perempuan. Usaha Maria membuahkan hasil pada tahun 1921. Waktu itu datang keputusan dari Batavia yang memperbolehkan perempuan untuk memberikan suara dalam pemilihan anggota-anggota Minahasa Raad.

Dalam karya Mulyono Atmosiswartoptra yang berjudul perempuan-perempuan Pengukit Sejarah, Maria menghembuskan nafas terakhirnya pada 22 April 1924, di Rumah Sakit Manado. Jenazahnya dimakamkan di Maumbi. Pada detik-detik terakhir menjelang kepergiannya, Maria sempat berpesan kepada suami dan teman-temannya untuk melanjutkan hidup anak bungsunya, yaitu PIKAT.

Itulah kiprah Maria yang tidak dapat dianggap remeh dalam usahanya meningkatkan harkat dan martabat perempuan melalui pendidikan. Untuk menghargai jasa-jasanya, pemerintah melalui Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 012/TK/1969 tanggal 20 Mei 1969 menganugerahkan gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional kepada Maria.

Penulis: Mg_Umsiah

Editor: Een

 

- Advertisment -

BACA JUGA