BerandaSuara MahasiswaMenelisik Intoleransi Masyarakat Cilegon

Menelisik Intoleransi Masyarakat Cilegon

Oleh: Muhammad uqel Assathir

Fransiskus Xaverius Seda Seso, atau yang akrab dipanggil dengan nama Frandy aktif sebagai Ketua Pemuda Katolik Serang. Frandy bercerita bahwa hingga kini jemaat Katolik di Cilegon kesulitan mendirikan gereja yang dapat dijadikan tempat ibadah.

Meskipun, disampaikan Frandy, stasi Cilegon memiliki gedung serba guna yang digunakan jemaat. Gedung serba guna yang sudah memiliki izin mendirikan bangunan (IMB) itu berada tepat di Sekolah Mardiana, Kecamatan Jombang.

“Gedung itu untuk kegiatan keagamaan, masyarakat sekitar ngelarang dijadikan gereja,” tambahnya.

Penolakan keras dari masyarakat terhadap pendirian gereja Katolik mungkin bisa jadi gambaran pembenaran hasil survey yang dilakukan oleh Setara Institute, seperti dilansir dari tempo.co, yang menyebutkan bahwa Kota Cilegon adalah kota paling intoleran di urutan ke-empat seluruh Indonesia. Ini tentu saja bukan peringkat yang mambanggakan mengingat masyarakat Cilegon sejatinya sangat beragam dengan agama dan suku berbeda. Apalagi kondisinya sebagai kota industri, Cilegon kerap kedatangan pendatang dari mana saja.

Bagi Frandy ada indikasi historis sejarah yang memengaruhi mengapa sikap masyarakat sulit menerima keberadaan masyarakat beda agama di Cilegon. Diceritakan bahwa  dulu sekali pernah ada perjanjian antar-ulama di sana. Tujuan perjanjian itu adalah selain umat Islam, tidak diperbolehkan masyarakat lain mendirikan rumah ibadah di Cilegon.

“Perjanjiannya sudah berlangsung selama puluhan tahun hingga sekarang ini. Masyarakat banyak yang meyakininya,” imbuh pemuda kelahiran dari tanah Flores yang kini tinggal di Banten.

Hingga kini Frandy sampaikan bahwa umat Katolik di Cilegon masih kesulitan mendirikan rumah ibadah dikarenakan penolakan masyarakat sekitar. Bahkan menurutnya pemerintah Kota Cilegon juga tidak mampu memediasi antara kebutuhan akan rumah ibadah dengan masyarakat sekitar.

“Diupayakan secara persuasif tapi masyarakat masih menolak, tidak menerima perbedaan,” sahutnya.

Kota Cilegon sendiri memiliki populasi jemaat Katolik paling banyak di wilayah Banten Barat dengan total kurang lebih 3.000 jiwa. Namun, hingga kini kegiatan keagamaan mereka selalu dilakukan di gedung serba guna bekas sebuahsekolah.

“Sebenarnya untuk Stasi Cilegon melihat infratruktur, jumlah umat dan bangunan sudah siap dijadikan Paroki, namun masyarakat menolak, tidak memperbolehkan ada pendirian rumah ibadah,” cerita Frandy.

Padahal kalau melihat jauh ke dalam sejarah, keberadaan umat Katolik di Banten sebenarnya sudah ada sejak 1930. Hal ini dapat dilihat dari keberadaan gereja Katolik yang sudah ada di sisi lain Banten, Rangkasbitung dan Serang.

Apa yang dialami umat Katolik dengan terkendalanya pembangunan gereja mereka, kondisi yang berbeda terjadi di selatan Banten, yaitu Rangkasbitung. Romo Toto nurbeus Trisapto bercerita banyak tentang bahwa di Rangkasbitung ada sebuah gereja Katolik yang sudah berdiri dan memiliki izin. Pun interaksi dengan masyarakat sekitar terjalin dengan baik.

“Interaksinya hingga sekarang harmonis, masih guyub sejak ratusan tahun lalu hingga sekarang,” tambahnya.

Ditambahkan Romo Toto dulu jemaat gereja adalah pendatang yang bekerja di wilayah tersebut. Kini banyak jemaat yang terlibat dalam pekerjaan sosial untuk kemanusiaan di Rangkasbitung. Seperti turut membantu dalam pembangunan rumah sakit dan memberikan pelayanan kesehatan.

“Hal ini yang membuat jadi masyarakat saling berbaur, masyarakat di luar jemaat juga menerima dengan baik. Tetap menjaga nilai-nilai kebhinekaan lah hingga saat ini,” sahutnya.

Menjaga kerukunan antarumat beragama dan bermasyarakat, itulah yang selalu diupayakan oleh Ferdinand, jemaat Gereja Kristen Indonesia (GKI) Serang. Dikarenakan keaktifannya tersebut ia kerap terlibat dalam pembangunan gereja Katolik di wilayah itu, termasuk pembangunan gereja di Cilegon.

Ferdinand menceritakan bahwa kesulitan membangun rumah ibadah juga dirasakan oleh umat Protestan di Cilegon. Disampaikannya hingga ini masyarakat di Cilegon sulit menerima kehadiran umat Kristiani. Dulu sudah pernah dilakukan koordinasi dengan masyarakat sekitar untuk rencana pembangunan gereja.

“Sudah ngobrol, koordinasi, namun ada yang provokasi jadinya rencananya dibatalkan karena alasan perizinan, padahal sudah koordinasi dengan pemkot juga,” tambahnya.

Kondisi tersebut terjadi hingga pada hari ini dan upaya-upaya guna menumbuhkan nilai keberagaman di tengah masyarakat masih terus digencarkan oleh Ferdinand melalui gerakan keberagaman bersama komunitas Gusdurian Banten.

“Ya, saya kemana ajah masuk bareng temen-temen Gusdurian, ini bagian upaya saya untuk mewujudkan makna Bhineka Tunggal Ika yang sesungguhnya,” ujar kang Ferdinand penuh harap.

Sementara itu, Director Human Rights Working Group (HRWG) Daniel Awirga, melihat kondisi masyarakat Cilegon saat ini dikarenakan dipicu oleh peraturan yang tertuang dalam Surat Keterangan Bersama (SKB) 3 Menteri soal pendirian rumah ibadah.

Bagi Aigra, peraturan itu sendiri diskriminatif dan tidak memberikan hak untuk melakukan peribadatan bagi seluruh pemeluk agama. Dalam kasus yang terjadi di Kota Cilegon, hal tersebut bisa dilihat bahwa untuk mendirikan rumah ibadah membutuhkan izin dari kelompok yang sama-sama masyarakat.

Awigra menjelaskan, secara terminology, izin itu dilakukan atas dasar kegiatan tersebut tidak boleh dilakukan, maka dari itu harus ada izin. Sedangkan soal melakukan kegiatan keagaman itu hak tiap penganut agama yang diberikan secara penuh oleh negara. Artinya SKB 3 Menteri tidak menjamin kebebasan beragama dan beribadah seluruh warga.

“Izin itu kalau secara terminolgi, itu kan sesuatu yang gak boleh kemudian dia minta izin baru dikasih izin, jadi isi peraturan SKB tiga menteri itu adalah sarang atau pun musuh bersama dari sulitnya mendirikan rumah ibadah,” jelasnya.

Dengan melihat kondisi kehidupan bermasyarakat berbeda agama di Cilegon dan Banten secara keseluruhan, Frandy berharapagar pemerintah daerah dapat menjembatani dan memediasi kebutuhan seluruh masyarakat umat beragama. Pemerintah juga harus mensosialisasikan tentang nilai-nilai keberagaman dengan turun langsung ke masyarakat dan melibatkan organisasi lintas agama supaya nilai-nilai kemajemukan dapat diterima.

“Untuk anak-anak muda, semoga dapat menebar kesejukan dengan karya-karya yang dibuat, untuk menciptkan toleransi antar umat beragama,” pintanya.

Hal ini juga diamini oleh Ferdinand. Menurutnya penolakan pembangunan tempat ibadah yang terjadi di Cilegon bukan hanya dialami oleh umat Kristen, tetapi umat Budha juga mengalami hal yang sama.

“Hadirlah pemerintah untuk merepresentasikan makna kebergaman supaya semua warga negara bisa terjamin hak untuk melakukan peribadatannya,” harap Ferdinand menutup pembicaraan.

***

Tulisan ini bagian dari program Workshop Pers Mahasiswa yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) kerja sama dengan Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit (FNF) dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

- Advertisment -

BACA JUGA