BerandaSuara MahasiswaopiniMenilik Umat-umat yang Terlupakan

Menilik Umat-umat yang Terlupakan

Oleh: Dani Mukarom

“Empat atau lima tahun yang lalu, saya lupa, kami pernah diusir tanpa penjelasan saat ibadah Natal oleh salah satu ormas di Banten”

Pengalaman pahit ditentang dan dihinakan atas apa yang diyakini Andreas oleh sekelompok warga yang memaksakan kehendak dan kebenarannya dengan ancaman ini sangat membekas buatnya. Padahal Natal itu dirayakannya di sebuah hotel di Anyer bersama gereja tempatnya bersekutu dalam doa.

“Yang saya inget mereka berbicara memakai bahasa Sunda, ‘Lamun masih dilanjutkeun berarti ngajak perang’ (Kalau masih dilanjutkan berarti mengajak perang),” ungkap Andreas sambil menirukan logat sundanya.

Andreas yang kini berusia 21 tahun sangat menyayangkan kejadian tersebut, yang sampai hari ini pun organisasi masyarakat (ormas) yang melakukan pembubaran dan pengusiran ibadah Natal itu tetap dibiarkan pemerintah setempat. Menjadi warga negara beragama Kristen di Indonesia, terutama di Anyer, daerah wisata di Serang, yang mayoritas warganya beragama Islam, dirasakan Andreas tidak sepenuhnya bebas untuk menjalankan ibadah dan bergereja sesuai imannya.

Ia juga mengaku terkendala saat beribadah rutin di hari Minggu. Gerejanya harus menyewa hotel di Anyer dan Carita. Tetapi, tidak sedikit hotel yang tidak mau menyewakan kepada gereja untuk ibadah karena takut akan mendapat ancaman atau masalah lainnya dari ormas.

“Untuk beribadah kami biasanya menyewa hotel di sekitaran Carita. Itu pun kadang tidak diizinkan oleh pihak hotelnya,” ujar Andreas dengan nada lirih.

Tidak sampai di situ, pria yang pernah mengenyam pendidikan SMA di Kecamatan Anyer ini bahkan mengaku sering menjadi korban bullying teman sebayanya di sekolah, karena teman-temannya tahu agama yang diyakini Andreas berbeda dari yang dianut masyarakat Banten. Kendati begitu, Andreas mengambil sisi positifnya, karena dari “pelecehan” itu dirinya bisa saling mengenal satu sama lain, berteman, lewat cara yang sungguh membuatnya prihatin.

“Di SMA saya sering sekali dijadikan bahan ejekan teman,” demikian pengakuan Andreas saat diwawancara oleh kru SiGMA (24/10).

Bukan tanpa Upaya, Toleransi selalu Dibangun

Tantangan kehidupan beragama di Banten, provinsi ujung barat Pulau Jawa yang berdampingan dengan ibukota Indonesia, adalah jalan panjang yang harus terus diusahakan banyak pihak. Hal ini disampaikan wakil ketua Badan Kerja sama Antar Gereja Kabupaten Lebak Toto Nurbertus Trisapto.

“Kita harus bisa menjadi masyarakat yang dewasa dan bijak. Hanya kerendahan hati dan keterbukaanlah yang menjadikan kita bijaksana,” tutur lelaki kelahiran Rangkasbitung 1969 lalu yang akrab disapa Romo Toto, meskipun dirinya bukan rohaniawan Katolik yang menempuh sekolah teologi.

Ikhtiar membangun kerukunan umat beragama tersebut sewajarnya berjalan mulus. Bagi Toto, masyarakat Banten dapat menerima kehadiran umat Katolik dan Kristen di wilayahnya. Meski demikian, tidak semua wilayah Banten dapat menerima dengan baik keberadaan warga non-Muslim.

Ada suasana yang mengharukan kala pertemuan lintas umat beragama di workshop yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) secara online Minggu (18/10). Selain perwakilan Katolik, dihadirkan juga dalam sesi testimoni workshop dari Kristen yang diwakili Gereja Pantekosta Rahmat Carita, Buddha dari Vihara Dhamma Ratana Labuan, dan satu aktivis dan pendamping isu perempuan dan kekerasan seksual An Nisaa Yovani.

Dalam kesempatan tersebut “Romo” Toto yang juga anggota Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Lebak perwakilan gereja Katolik mencoba menyingkirkan kekhawatiran para peserta workshop SEJUK ihwal intoleransi umat beragama di Banten. Toto dan sejumlah jemaat lainnya lebih menatap ke depan dengan terus berupaya membangun kehidupan harmoni dan toleransi umat beragama di Banten.

Toto menuturkan, kehadiran gereja di Banten terbilang sudah lama dan tidak hanya menjadi organisasi kerohanian umat Katolik. Dalam perkembangannya, gereja juga sudah banyak berkontribusi dan selalu berupaya membangun kehidupan harmoni melalui bingkai toleransi dalam kehidupan bernegara. Ia menjelaskan, upaya tersebut dimulai melalui beberapa pergerakan progresif di sektor pendidikan, ekonomi, dan bidang kesehatan.

“Dalam perkembangannya gereja tidak hanya melayani kegiatan rohani. Saat itu (awalnya) gereja menilai kondisi Banten sangat buruk. Lalu (gereja) mendirikan sarana pendidikan dan kesehatan untuk pribumi,” kisah Toto tentang awal mula kehadiran gereja Katolik dan aksi-aksi sosial kemanusiaan yang terus berkembang hingga saat ini.

Peliknya Pendirian Rumah Ibadah

Di Carita, sudut Banten lainnya, Rusman Anita Sitorus, salah satu pengurus gereja Pantekosta menceritakan persoalan yang tengah dialami umat Kristen di daerahnya. Ia menuturkan ada banyak jemaat yang sulit mendapatkan akses untuk beribadah.

Fakta tersebut merupakan implikasi dari sulitnya perizinan mendirikan rumah ibadah di lingkungannya. Selain itu, himbauan pemerintah setempat yang melarang pengurus untuk memasang symbol-simbol atau penanda gereja di depan rumah ibadah pun ikut serta mempersulit akses informasi rumah ibadah di wilayahnya.

Rumah ibadah merupakan salah satu identitas dan tempat yang sangat sakral bagi pemeluk agama untuk mengabdikan dirinya kepata Tuhan. Di Indonesia sendiri pendirian rumah ibadah telah diatur melalui Peraturan Bersama Menteri (PBM) No 9 dan No 8 Tahun 2006. Isinya terkait persyaratan apa saja yang harus dipenuhi sebelum mendirikan rumah ibadah. Disebutkan dalam Pasal 14 ayat 2, pendirian rumah ibadah harus mendapatkan dukungan masyarakat sekitar minimal 60 orang serta daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) pengguna rumah ibadah minimal 90 orang yang disahkan oleh pemerintah desa setempat.

Namun pada kenyataannya PBM 2006 ini sulit untuk diimplementasikan oleh kelompok-kelompok agama minoritas. Mulai dari kurangnya dukungan masyarakat sekitar, hingga terkendala oleh regulasi dan rekomendasi untuk memperoleh izin mendirikan bangunan (IMB). Tak dapat dipungkiri, aturan di atas realitanya bertabrakan dengan kondisi yang ada di masyarakat. Hal ini menimbulkan ketidakpastian dan mempersulit masyarakat untuk menunaikan hak kebebasan beragamanya.

Diskriminasi dan pembatasan terhadap aktivitas ibadah banyak dialami warga non-Muslim di Banten terjadi secara sistematis. Padahal, UUD 1945 sudah menjamin kebebasan tersebut, untuk memeluk agama dan beribadah sesuai keyakinan yang dianut oleh setiap warga negaranya.

Sejak 1986 Rusman Anita bersama suaminya, Pendeta Markus Taekz, merintis Gereja Pantekosta Rahmat di Carita, Pandeglang. Perempuan yang akrab disapa Bu Markus mengisahkan bahwa ia bersama suaminya terus berupaya untuk membangun hubungan yang baik dengan warga sekitar dan pemerintah setempat, dari lingkup RT, kepala desa sampai tingkat kabupaten.

Mereka berdua aktif dalam pertemuan-pertemuan lintasiman sampai tingkat kabupaten yang diinisiasi oleh FKUB Pandeglang. Sesekali dalam pertemuan antarumat beragama itu Bu Markus merasa menjadi perhatian karena tampilannya paling berbeda (perempuan dan tidak memakai jilbab). Hubungan di tingkat elit-elit agama, menurutnya, sangat harmonis. Namun, hal tersebut bukan jaminan bagi gerejanya untuk mendapat IMB.

“Kami terkendala oleh peraturan dua menteri tahun 2006. Dari pihak pemerintah kami diajak berdialog, akhirnya mereka setuju kami mendirikan rumah ibadah cuman mereka (pemerintah) sarankan jangan pasang merek gereja di depan” tutur Bu Markus.

Aktivitas sosial dan interaksi jemaat-jemaat Gereja Panteksota Rahmat dengan warga sekitar sampai hari ini semakin harmonis, meskipun sesekali ada saja kelompok tertentu di luar Carita yang berusaha “mempertanyakan” keberadaan gereja.

“Ya, kami sampaikan dan jelaskan dengan baik-baik kepada mereka,” ucap Bu Markus.

Sementara itu, FKUB Pandeglang mendata rumah ibadah di daerahnya hanya tiga. Ini disampaikan Ketua FKUB Pandeglang Entis Sutisna.

“Ada satu vihara Buddha dan satu gereja Katolik di Labuan serta satu gereja Protestan di Carita. Itu pun masih bersifat sementara. Belum resmi sesuai Peraturan Bersama Menteri. Tetapi sudah diterima keberadaannya oleh warga sekitar dan tercatat di Kanwil Kemenag Provinsi Banten,” papar Entis.

Merespon hal tersebut Anggota Komisi 4 DPRD Kab. Pandeglang, Agus Khatibul Umam, menuturkan, pihaknya belum mendapat banyak informasi terkait permasalahan-permasalahan intoleransi dan diskriminasi yang ada di wilayah tugasnya. Agus menegaskan jika hal tersebut benar adanya, itu bentuk konfirmasi pemerintah kurang peduli terhadap keberagaman.

Bagi Agus, Pemerintah Kabupaten harus memfasilitasi kehidupan antarumat beragama agar kebebasan beragama dan berkeyakinan serta semangat toleransi bisa lebih terbangun di Pandeglang secara khusus dan Banten secara umum. Dia berharap polemik dan diskriminasi terkait pendirian rumah ibadah dapat diselesaikan oleh pemerintah.

“Itu artinya pemerintah kurang mendengar dan peduli. Ini perlu ada pendekatan dari pihak kita (DPRD) ke pemerintah agar mereka memiliki sikap yang terbuka terhadap semua agama,” tutur Agus kepada kru LPM SiGMA (25/10).

*

Tulisan ini bagian dari program Workshop Pers Mahasiswa yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) kerja sama dengan Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit (FNF) dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

- Advertisment -

BACA JUGA