BerandaSuara MahasiswaMenjadi Minoritas di Tengah Mayoritas

Menjadi Minoritas di Tengah Mayoritas

“Tataran pergaulan antara para tokoh berbagai macam agama di Banten sangatlah baik.”
Kalimat itu terucap oleh Romo Toto Nubertus Trisapto saat membuka pembicaraan mengenai keberagaman.
Ini merupakan kali pertama saya mengikuti pelatihan Serikat Jurnalisme Keberagaman (SEJUK), dan dilakukan berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Tahun ini pelatihan dilaksanakan secara online, dan kita bertemu virtual melalui Zoom Meeting.
Begitu pula dengan para narasumber, kami bertegur sapa dan berbincang dengan memanfaatkan teknologi digital, ada yang menggunakan handphone, laptop ataupun PC (personal computer).
Romo Toto sebagai narasumber pada testimoni sesi Katolik mengatakan bahwa mengenai agama minoritas yang berada dilingkungan mayoritas Muslim, tidak membuatnya merasa terkucil atau mendapati sindiran. Justru yang ia rasakan adalah sebaliknya, ia mendapatkan teman ngobrol dan teman makan dengan beragam agama, dan itu sangatlah menyenangkan.
“Jika sudah makan dan ngobrol bareng, kita tidak lagi menyinggung soal agama,” ujar bapak berusia 51 tahun ini sambil mengangkat kedua sudut bibir, tersenyum di depan kamera.
Namun Romo Toto menambahkan, tentu bukan menjadi hal yang tak mungkin jika timbul masalah antar agama. Masalah memang selalu ada di berbagai aspek manapun, apalagi terkait agama yang sensitif jika dipersoalkan. Berbicara melalui mikrofon handphone, Romo Toto menjelaskan bagaimana mengatasi masalah yang sering timbul.
“Masalah memang pasti ada, tapi selalu dapat diselesaikan. (Menyelesaikannya) harus dengan kata bijak, jangan pakai emosi,” katanya.
Sejauh yang ia alami, kalaupun ada masalah tidak sampai terjadi meruncing ke ranah pribadi.
Romo Toto juga bercerita bagaimana kehidupannya pada saat remaja, menjadi mahasiswa yang bertempat tinggal menyewa tempat tinggal bersama teman beragamnya. Ia mengaku bahwa tidak pernah mempunya kamar kontrakan sendiri, paling sedikitnya berdua, dan selalu mendapatkan teman kamar dari umat Islam.
“Saya sering sekali dapet roommate itu dari Muslim. Pernah dapat dari umat Kristen dan Budha hanya sekali saja, selebihnya selalu dapet orang Muslim,” ucap Toto kepada para peserta dalam Zoom Meeting yang masih setia dan antusias mendengarkan.
Hidup bersama ragam agama, jelas Romo Toto, tidak menjadi masalah selama saling toleransi dan tidak membuat merasa terganggu satu sama lain.
Masih dalam room Zoom, saat ditanya mengenai apa penyebab susahnya membangun rumah ibadah bagi Umat Katolik, ia menjawab bahwa ini adalah masalah yang kolot, dan belum terpecahkan bahkan sejak ia belum lahir.
“Karena ini masalah bukan hanya masalah agama, ini bisa disebut masalah politik, masalah kebudayaan, ataupun kependudukan. Jadi, menurut saya ini adalah hal yang akan memakan waktu lama untuk diselesaikan. Karena ini jauh kepada pemahaman yang mengendap di masyarakat itu sendiri,” jelasnya.
Di akhir, Romo Toto berpesan kepada semua umat untuk tetap Teguh kepada kepercayaannya masing-masing, akan tetapi tetap harus membuka mata untuk tetap saling tolerir.
“Anda harus mempunyai Iman yang kuat dengan apa yang Anda yakini, tetapi janganlah menutup hati dan pikiran Anda dari kebaikan-kebaikan yang ada di luar Anda,” pungkasnya saat memberikan closing statement.

Seperti Pelangi, Perbedaan Itu Indah
Bukan keberagaman namanya jika dalam pelatihan ini kami hanya membicarakan dari satu sisi agama saja. Pendeta Rusman Anita Sitorus yang merupakan istri dari Pendeta Markus Taeksz juga menjadi narasumber dalam pelatihan kami. Ia mengungkapkan perasaannya bagaimana ia hidup dengan beragam agama di wilayah Carita, Banten.
Ia mengaku diterima dengan baik oleh warga sekitar dan tidak pernah mengalami perselisihan. Kalaupun ada, paling hanya sekedar menanyakan perizinan yang sah saja terkait kependudukannya sebagai masyarakat wilayah Carita.
“Walaupun berbeda, kami tetap merasa bahwa kami diterima. Kami bisa menjadi saudara untuk mereka tanpa melihat perbedaan,” ujar Ibu Rusman Anita Sitous, istri Pendeta Markus saat diwawancarai via WhatsApp. Ia menjawabnya melalui voice note dengan nada yang sangat ramah, dan membuat saya merasa disambut dengan baik atas pertanyaan yang saya ajukan.
Ibu Anita yang juga akrab dipanggil dengan sebutan Ibu Markus juga berbagi pengalaman bagaimana ia membangun tali persaudaraan dan kerukunan dengan warga sekitar. Yaitu dengan cara membuka diri agar bisa menerima mereka (umat agama lain) apa adanya, dan begitupun sebaliknya.
“Melakukan kegiatan sosial juga kami lakukan, seperti contoh sederhananya suami saya melakukan kegiatan ronda malam, saya ikut bergotong royong, dan mengikuti kegiatan sosial lainnya,” jelasnya.
Melalui aplikasi pengirim pesan (WhatsApp), Istri dari suami berumur 61 tahun ini juga berpesan kepada anak muda zaman sekarang agar jangan alergi terhadap keberagaman. Baik itu suku, budaya, agama, bahasa, maupun ras yang ada di Indonesia.
Bahkan menurutnya, dengan adanya keberagama ini bisa menambah wawasan lebih luas lagi, bisa mempelajari kebudayaan masing-masing kepercayaannya, memperbanyak relasi dari bermacam suku, dan banyak manfaat lainnya ketika bisa hidup ditengah-tengah beragam macam umat di wilayah sekitar.
“Jadi untuk anak-anak muda, jangan pernah alergi terhadap perbedaan. Karena perbedaan itu indah. Contohnya seperti Pelangi, ada banyak macam warna, begitu indahnya jika dipandang,” tutupnya dengan suara yang jika saya melihatnya ia menutup pembicaraan dengan diakhiri senyuman.
Terkait kerukunan beragam agama di wilayan Banten ini, saya kembali mengutip pernyataan FKUB Lebak dari berita online dari Republika.co.id, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Lebak menjamin  kerukunan umat beragama di Kabupaten Lebak, Banten berjalan baik dan kondusif.
“Kami hingga kini terus menjaga dan melestarikan kerukunan umat beragama dengan penuh kedamaian,” kata Sekretaris Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Lebak, KH Akhmad Khudori, di Lebak, Ahad (9/1/20).
Bebas Memilih, Tetap Saling Menghormati
Jika sebelumnya kita sudah mengetahui bagaimana rasanya minoritas hidup ditengah-tengah mayoritas dari sudut pandang umat Katolik dan Protestan, kali ini datang dari sudut pandang Umat Buddha yang berada di wilayah Labuan, Banten. Dalam hal ini, saya menghubungi Romo Pandita Sumedho untuk menjadi narasumber.
Sepanjang hidup di Labuan, kata Romo Pandita, ia tidak pernah mengalami masalah dengan umat Muslim di daerah sekitar. Justru yang ia rasakan adalah rasa harmonis dan kebersamaaan yang dimiliki, tidak pernah ada benturan antar mereka.
Romo Pandita juga sempat sedikit bercerita, bahwa ia pernah mempunyai pengalaman mengantar teman Muslim yang terkena musibah ke Rumah Sakit.
“Pernah salah satu teman (muslim) kami sakit, lalu kami mengantarnya ke RSUD Pandeglang. Kami juga menggalang dana untuk bantuan pengobatannya,” tulis Romo Pandita melalui pesan WhatsApp, Senin, (19/10).
Tergambar oleh saya dari pesan yang disampaikan, Romo Pandita adalah orang yang sangat ramah jika kita bisa berbicara langsung dengannya. Disetiap pesan yang ia kirim, selalu menyebut nama saya didalamnya, yang menurut saya itu adalah suatu perilaku yang ramah terhadap lawan bicara.
Menurutnya, sepanjang kita menaati peraturan dan menghormati budaya setempat, apapun keyakinannya itu tidak menjadi masalah. Karena dalam memilih agama, itu adalah suatu kebebasan yang tidak bisa dipaksakan (menurut umat Buddhis). Bahkan, kata Romo Pandita, jika umat Buddha ingin berpindah agama pun itu dipersilahkan.
Terakhir, ia menyampaikan bahwa dalam perbedaan (keberagaman agama) yang indah ini, jangan jadikan dinding pemisah antara umat satu dengan yang lain. Tetaplah saling menghormati dan menghargai setiap keyakinan manusia.
“Perbedaan itu indah, maka jangan jadikan perbedaan itu menjadi dinding pemisah diantara kita (umat beragam). Oleh sebab itu, hargai dan hormati keyakinan orang lain,” tutup Romo Pandita pada pesan teks tersebut.
(Ifaz/SiGMA)


Tulisan ini bagian dari program Workshop Pers Mahasiswa yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) kerja sama dengan Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit (FNF) dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

- Advertisment -

BACA JUGA