PIALA YANG PATAH


“Pulanglah, Nak! Kehadiranmu adalah kado terindah untuk orang tua”

Dalam seminggu ini Ibu sudah berkali-kali menelpon Dudi dan Dudi juga berkali-kali berencana akan pulang, tapi sepertinya ia merasa berat jika harus pulang tanpa membawa piala kelulusan karena ia telah berjanji pada bapaknya akan segera memberikan piala itu. Maklum Dudi mahasiswa alot yang sedang menduduki semester akhir dan benar-benar akhir. Semester ini jika ia masih mendekam di kampus sepertinya pihak akademik akan mengusir secara halus alias di drop out.

Dudi sudah berkomitmen pada dirinya sendiri jika bulan depan ia berniat untuk menghentikan petualangan di dunia kampus, setelah enam tahun sepuluh bulan lamanya berkecimbung disana. Beberapa minggu ini setiap malam ia mulai sering terlihat duduk bertemankan laptop dan beberapa buku serta kopi hitam yang menjaganya dari kantuk.

Malam menjadi waktu dimana ia berpikir sekaligus bertindak, mungkin semesta sedang ingin melihatnya serius karena ia tak lagi memiliki waktu lama untuk memberikan sebuah piala pada ia yang di panggil “Bapak”.

Beberapa orang yang lewat sering menggodanya tapi tak ia hiraukan, paling hanya di balas dengan senyum kecut yang menyebalkan dan Dudi memang di kenal sangat menyebalkan. Beberapa dari mereka juga sesekali memberi semangat, namun hal itu tak memberi efek apapun pada diri seorang Dudi. Ia terlalu bodo amat, berambisi tinggi, mandiri sekaligus rapuh tak henti-henti.

Tangan Dudi mulai menari di atas keyboard laksana not piano yang tak menemukan nada, merangkai kata demi kata guna melahirkan kalimat dan membiarkannya berkembang biak. Saat ia tenggelam dalam dunianya, seseorang datang menyapa.

“Kapan sidang, Bang?” tanya Toha, junior Dudi di salah satu organisasi internal kampus.

“Minggu ini, harus!” jawabnya cepat.

“Wih luar biasa senior yang satu ini,” ucap Toha sembari menepuk pundaknya.

“Padahal biasa aja,” timpal Dudi, santai.

“Hmmm…. yaudah semangat deh!” Toha menyemangati.

“Gak butuh semangat dari lu,” jawab Dudi spontan tanpa meliriknya.

Toha yang sudah paham dengan karakter seniornya itu meninggalkannya begitu saja dan Dudi kembali fokus dengan aktivitasnya.

Setelah sidang, tiga hari sebelum wisuda Dudi menelpon Ibunya. Ia berencana untuk pulang sekaligus mengabarkan bahwa ia akan segera wisuda, di sebrang sana ibu mengiyakan dan langsung memutuskan jaringan.

“Kok aneh ya,” ucap Dudi sembari menimang-nimang hapenya.

Hari itu sepertinya tak ada yang perlu di khawatirkan, Dudi menjalani hari-hari sebagaimana biasanya. Ia pulang tepat pada pukul dua siang menjelang sore, menunggu mentari benar-benar berpindah posisi agar terhindar dari teriknya. Empat jam perjalanan cukup melelahkan sekaligus menyebalkan karena macet selalu sempat mencegatnya.

“Assalamualaikum, Buk.” Ucap Dudi saat menginjakkan kaki di teras rumahnya.

“Wa’alaikumsalam,” Ibu menyahut dengan lembut sembari membukakan pintu dan Dudi mencium tangannya.

Tepat saat pintu terbuka, Dudi terperanjat melihat seorang berbaring di ranjang tua, wajahnya pucat dan matanya terpejam seperti sedang menahan sakit.

“Bapak….” mulut Dudi menganga, dadanya terasa sesak menahan tangis yang mendesak.

“Ini Dud, Ibu sering menelponmu karena ini, tapi Ibu tak berani menganggu kuliahmu di kota, Ibu tak berhak menganggu hari-harimu,” ucap Ibu sembari mempersilahkan Dudi mendekat ke arah ranjang tua yang di tempati Bapaknya.

Dudi terdiam lama, mematung menatap setiap hembusan napas sang Bapak, ia tersenyum getir merasa dirinya manusia yang paling bodoh sekaligus berdosa.

“Aku salah Tuhan, aku salah, maafkan aku!” Dudi berkata dalam hati yang mulai terasa sakit.

“Dud,” panggil Bapak lirih.

“Iya pak, Dudi di samping Bapak,” jawab Dudi mulai meneteskan air mata.

“Maafin Bapak kalo gak bisa menemanimu wisuda, kelulusanmu tetap menjadi piala meski Bapak tak mampu menggengamnya,” seutai kalimat yang keluar dari mulut Bapak benar-benar menusuk hatinya, tak ada kata yang mampu keluar dari mulut Dudi, ia hanya diam dengan linang air mata.

Ia mengingat kembali hari-hari yang penuh perjuangan di sepanjang malam, ternyata usahanya berbulan-bulan melahirkan sedu yang mendalam, niatnya ingin mengabarkan kegembiraan namun semesta ingin melihatnya kembali berjuang. Ia pikir piala kelulusan akan menjadi kado terindah sepanjang hidup mereka namun faktanya hanya sepanjang hidup Bapak.

“Bapak pamit, jaga Ibu,” ucap Bapak terakhir kalinya.

Tangan panjang Bapak tiba-tiba berubah menjadi pendek saat rintik hujan mulai turun berbarengan dengan mata Bapak yang terpejam, Dudi sendiri menunduk sembari menahan Ibu yang hamper terjatuh. Piala yang akan Dudi berikan tak sampai pada tangan bapaknya, piala itu jatuh dan patah di bulan Juli diantara alam yang mulai menghitam.

“Selamat Jalan, Pak.” lirih Dudi sembari menggenggam erat tangan yang tak lagi terasa denyut nadinya.

Penulis : Zahra
Editor : Vina

- Advertisment -

BACA JUGA