Reina

Gemerlap malam dihiasi bintang yang berkelip,aku termenung di balkon rumahku sembari menatap ke arah langit,aku terus memperhatikan kedipan bintang itu, indah memang.

Aku sangat ingin menjadi seperti mereka, “Apa mungkin?” tanyaku dalam hati.

“Reina…” teriak seorang wanita paruh baya.

“Iya ibu..” balasku.

Aku Reina, usia ku 17 tahun, sekarang aku menginjak kelas tiga sekolah menengah atas, terlahir dari keluarga yang cukup terpandang. Yang memanggilku tadi ialah ibuku, ia sangat menyayangi aku, ia selalu mendukung setiap keputusanku asalkan itu baik untuk diriku.

Berbeda dengan Ayah, beliau selalu mengaturku, bahkan soal pendidikan ia sudah berencana akan menyekolahkan ku ke luar negeri pasca aku lulus di SMA, tapi aku menentangnya. Akan tetapi,ia tetap pada keputusannya karena semua anak rekan kerjanya bersekolah di luar. Aku tidak tau apa yang akan terjadi nanti.

“Rei ayo masuk sayang, udah larut malam, besok kamu harus sekolah,” tegas ibu.

“Iya bu, Rei masuk sekarang.”

Pagi hari yang cerah, aku sudah bersiap-siap berangkat sekolah, ku lihat ibu sudah menata rapih makanan di atas meja makan, ayah juga tengah berada di sana tengah duduk di sana.

“Rei, sini sayang sarapan dulu,sudah ibu siapkan,” ajak ibu.

“Enggak bu, Reina sudah telat nih,mau langsung berangkat aja,”jelasku.

“Oh ya sudah, bekal aja ya, makannya nanti di sekolah,”

Ibu memberikan kotak yang berisi makanan yang tadi di buat dan memasukannya ke dalam tasku, lalu aku mencium tangan pada ibu begitupun ayah.

“Reina berangkat,” 

“Kamu gak mau ayah anterin?,” tanya ayah.

“Engga yah,aku mau sendiri aja,” jawabku.

Aku melangkahkan kaki keluar rumah, menyusuri lorong depan rumahku, mewah memang, tapi apalah arti semua ini jika di dalamnya sudah seperti penjara bagiku, banyaknya peraturan.

“Non, mau saya antar?” ucap mang Yusri, sopir di rumahku.

“Enggak mang, Reina mau naik angkutan umum aja,” balasku.

Aku tidak ingin menjadi anak yang manja, aku ingin hidup sederhana seperti anak-anak yang lain, toh lebih seru naik angkutan umum, karena kita bisa belajar banyak tentang dunia luar dan bisa mempunyai banyak kenalan juga.

Aku melanjutkan langkah kaki yang sempat terhenti. Sesampainya di halte aku duduk menunggu angkutan umum yang dituju.

Aku melihat ke sekitaran jalan,banyak kendaraan berlalu lalang, ke sana kemari, pertanda orang-orang hendak memulai aktifitasnya.

“Rei gak kerasa yah bulan depan kita udah mau ujian akhir sekolah,” ucap dani teman dekatku.

Dani adalah salah satu teman dekatku semenjak aku masuk SMA, ia teman yang baik tidak pernah marah dan selalu mengalah kepadaku. Setiap kali kami pergi ke perpustakaan selalu ada saja buku yang menjadi rebutan tapi aku selalu menang karena dia selalu mengalah.

“Iya dan,gua juga bingung cepet banget,” 

“Namanya juga hidup hahaha,” ujar dani sambil tertawa kecil.

Aku menatap papan tulis yang berada dihadapan ku,entah kenapa perkataan ayah selalu menghantui pikiranku, berat rasanya.

“Udah ketebak, pasti lo mikirin ayah kan?” tanya dani sambil menebak-nebak.

“Iya gimana ini gua gak mau banget,” 

“Udah gak usah di pikirin dulu, fokus aja buat ujiannya,” ucapnya.

Bel berbunyi, terlihat semua penghuni sekolah mulai berhamburan keluar karena kelas telah selesai. Aku mulai merapikan buku-buku yang tadinya berserakan di meja bekas belajar. Setelah selesai aku langsung bergegas meninggalkan kelas dan kembali ke rumah.

“Rei, ayah udah daftarin kamu buat kuliah di Amerika, tempat tinggalnya juga ,pasti kamu bakalan betah di sana,” ucap ayah sambil menyeruput kopi buatan ibu.

“Kenapa sih yah, kan Reina udah sering bilang, Reina gak mau kuliah jauh-jauh apalagi sampe ke luar negeri gitu, aku gak mau jauh dari ayah sama ibu,” tegasku sambil meletakan buku yang barusan ku baca.

Seketika, ayah memandangku dengan tatapan yang tajam.

“Pokoknya ayah tidak mau tau, kamu harus nurut apa kata ayah, ini buat kebaikan kamu, masa depan kamu!”

“Gak mau!” tegasku kembali.

Kemudian aku pergi, dengan air mata yang tak bisa ku tahan ketika ayah sudah mengucapkan kalimat itu. Aku rasa Ayah tidak mengerti perasaanku. Demi rasa gengsinya, ia tega hendak memisahkan ku dari ibu dan teman-teman dekatku di sini.

“Sayang, boleh ibu masuk?,” tanya ibu yang tengah berdiri di pintu kamarku.

Aku menganggukan kepala, ku lihat tatapan wajah ibu yang penuh rasa iba kepadaku.

“Sayang, maafin ibu ya, ibu gak bisa berbuat apa-apa, kamu tau sendiri ayahmu sangat keras kepala,”

Aku memeluk erat ibu, yang tengah berada tepat di hadapanku sembari tangan yang mengusap air mata yang membasahi wajahku.

Perputaran waktu begitu cepat, kini aku tengah berada di penghujung jalan kebimbangan. Di sisi lain aku sangat bahagia karena telah menyelesaikan ujian akhir di sekolah akan tetapi di sisi lain teringat keputusan ayah.

“Dan,gimana lu udah mulai daftar kuliah?” tanyaku kepada dani yang tengah sibuk memakai sepatu.

“Iya rei, gua udah daftar di Universitas Kota, tinggal nunggu waktu tes aja,” jawabnya sambil melihat ke arahku.

“Ajakin gua daftar juga dong,” pintaku dengan wajah memelas.

“lah kan lu udah daftar di Amerika,hebat loh,” ujarnya.

Aku mengalihkan pandangan dan memasang wajah kesal dan pergi meninggalkan dani tanpa berucap apapun. Dani berteriak memanggilku tapi aku tidak menghiraukannya.

“Apa sih berisik!!” tukasku.

“Main pergi aja lu, maafin lah,”

“Lagian lu kan udah tau, gua ga suka kalo denger lo ngomong kayak gitu,” tegasku.

Kemudian, ide muncul dari kepalaku. Aku mengajak dani untuk main ke rumah sembari membujuk ayah untuk tidak mengirimku ke Amerika. Setelah sampai di rumah Ayah menyambut Dani dengan baik akan tetapi setelah kalimat permintaan tentangku keluar dari mulut Dani ayah langsung mengelak dan membentak Dani.

“Kamu jangan ikut campur soal Reina ya, saya ayahnya tau mana yang baik untuk anaknya!” bentak ayah.

“Tapi om, kasian Reina nanti dia tertekan dan itu ga baik juga buat dirinya nanti,” ucap Dani memohon.

Tanpa menghiraukan perkataan dani, kemudian Ayah malah mengusirnya dari rumah dengan tidak hormat. Melihat hal itu aku merasa sangat kecewa terhadap sikap ayah.

“Ayah kenapa sih,udah aku bilang beberapa kali aku gak mau.  Ayah Egois!” tegasku kembali.

“Oke jika itu mau kamu, ayah punya dua pilihan, kamu mau nurut apa kata ayah atau silahkan angkat kaki dari rumah ini!” ucap ayah dengan nada tinggi.

Air mataku kembali berjatuhan, aku tidak percaya bisa-bisanya ayah mengucapkan kalimat itu kepada anaknya sendiri. kemudian aku bergegas ke kamar dan membereskan pakaian untuk di masukan kedalam koper, koper berwarna biru muda yang biasa ku bawa berpergian.

“Sayang, kamu kemana?” tanya ibu dengan wajah panik.

Tanpa menjawab pertanyaan ibu, aku pergi keluar rumah. Mendengar ibu berteriak memanggil ayah.

“Ayah, lihat Reina mau pergi dari rumah,” teriak ibu.

Aku menyusuri trotoar jalan raya yang belum jauh dari rumahku sambil berlari-lari kecil, kala itu jalanan cukup ramai banyak kendaraan berlalu lalang. Ketika aku menengok ke belakang ternyata ibu dari tadi mengejarku.

“Reina sayang, tunggu ibu,”

Aku melihat wajahnya penuh dengan keringat. Kemudian aku menghentikan langkah kaki dan menghampiri ibu.

“Ibu ngapain ngikutin reina,ibu di rumah aja sama ayah,” 

Lalu ibu memelukku dengan erat, tak terasa air matanya mengenai pipiku.”Ibu pulang aja,biarin reina pergi,”ucapku sambil melepas pelukannya.

Langkah kaki membawaku untuk menyebrangi jalan aku tak melihat arah manapun selain fokus ke depan. Tiba-tiba ada yang mendorong ku sehingga aku terpental ke bahu jalan.

“BRAAKKK..”

Seketika aku langsung berdiri dan melihat kerumunan orang, aku bertanya-tanya dalam hati ada apa denganku.

“ibuuuu,” 

Aku langsung berlari kearah kerumunan tersebut,dan melihat ibu bersimbah darah dan tengah terbaring tak sadarkan diri. Kemudian,ambulan datang dengan bantuan orang lain dan membawa ibu ke rumah sakit.

“Ayah puas!?”

“Liat ibu yah, ibu belum sadar,” ucapku sambil mengalihkan pandangan dari ayah. 

Terlihat dari raut wajah ayah yang amat merasa bersalah, matanya tampak berkaca-kaca.

“Nak, maaf..”ucap ayah sambil bersimpuh di hadapanku.

Melihat hal itu sebenarnya aku sangat merasa tidak enak, karena bagaimanapun juga ia adalah ayahku, akan tetapi disisi lain aku sangat kecewa kepadanya.

“Uhukk..Uhukk…Reii sa..yang,” ucap ibu dengan terbata-bata.

Tangan ibu terlihat bergerak dan tiba-tiba memegang tanganku yang dari tadi berada di sampingnya.

“Ibu..ibu sudah sadar..” pekiku sambil memeluk tubuh ibu yang masih dalam keadaan lemah.

Ibu tampak berusaha untuk bangkit dari tidurnya akan tetapi aku menghalanginya karena melihat kondisinya yang baru saja sadar dengan balutan kain kasa di kepalanya.

“Rei maafin ayah ya sayang,” ujar ibu.

Mendengar ucapan dari ibu aku hanya diam seribu kata dan berusaha mengalihkannya. Ayah yang dari tadi hanya berdiri di sampingku tanpa berkata apapun kecuali menjatuhkan air mata.

Disepanjang ketika aku hidup bersama ayah dan ibu sebelumnya,belum pernah melihat air mata yang turun dari mata ayah. Kecuali saat ibu berjuang melahirkan ku ia terlihat menangis, itu terakhir kali air matanya jatuh, kata ibu.

“Sekali lagi Reina putri ibu sayang, maafin ayah,”ucap ibu dengan suara lembutnya.

Kemudian aku memandang wajah ayah sesekali,”Tapi bu,”

“Maafin ayah ya nak, ayah salah, ayah terlalu mengekang kamu,ayah janji mulai detik ini gak akan menghalangi kamu lagi, kamu bebas memilih tujuan hidup kamu asalkan itu baik ya nak,” ucap ayah kemudian memelukku dengan hangat.

Aku sudah tidak bisa menahan air mata yang dari tadi sudah terbendung, “Maafin reina juga ya ayah, Reina sudah kasar sama ayah,”

“Tidak nak, ini semua salah ayah”ujar ayah sambil mengelus kepalaku.

Aku kembali menatap wajah ibu, telah terukir senyum yang amat sangat cantik ketika ia melihat aku dan ayah bersama. Ibu selalu menjadi pemecah disetiap masalah yang ada dalam hidupku,aku sangat bersyukur atas apa yang telah di berikan tuhan.

Kini hidupku telah berjalan dengan bahagia, tidak ada lagi kekangan dan kebimbangan, ayahpun telah berubah menjadi sosok yang arif dan bijaksana dan Akupun berjanji tidak akan mengecewakan mereka. [Mg.Olis/Rani/SiGMA]

- Advertisment -

BACA JUGA