BerandaSuara MahasiswacerpenSeumpama Kau Jadi Aku, Bagaimana?

Seumpama Kau Jadi Aku, Bagaimana?

Oleh Siti Fatimatuzzahra

Lahir dari keluarga yang menyandang gelar pejabat bukan suatu hal yang istimewa bagi Griya, jika saja dulu ia diberi kesempatan untuk memilih sudah pasti ia tak akan mengambil posisi itu. Ayah Griya, Pak Huswa seorang Wali Kota, meski kedudukannya jelas berada dibawah Presiden dan Gubernur akan tetapi ia tetap dihormati oleh kalangan sekelas mereka lantaran ia hidup bergelimang harta.

Senja di ufuk barat yang bergegas menuju tempat lain diam-diam memperhatikan dua insan yang sedang duduk di kursi tua, beberapa daun gugur berbarengan dengan angin yang sesekali menerpa rambut lurus Griya serta di iringi dengan suara Behuku yang renyah, rupanya mereka sedang asik bercerita.

“Bagiku itu hal mudah, Behu,” Griya menimpal cerita Behuku yang berkeinginan keliling Indonesia. Behuku satu-satunya teman Griya yang umurnya lebih tua dua tahun darinya, mereka kenal saat menjadi volunteer di salah satu organisasi kemanusiaan.

“Sombong kali kau!” sela Behuku terkekeh dengan gayanya yang khas.

“Aku serius, kalo aku bilang ke Ayah ingin keliling Indonesia, aku yakin Ayah akan segera meminta para pelayan menyiapkan helikopter pribadi lalu terbang bersama orang yang ia percayai untuk menemaniku,” lanjut Griya, santai dengan mimik wajah yang sulit diartikan.

“Hmmm…. Masa????” ledek Behuku yang menganggap Griya sedang bergurau.

“Aku serius, tapi asal kau tau Behu, dalam kamus hidupku hal itu sangat menyebalkan sekaligus menjijikan,” ungkap Griya sambil menyeruput es teh cekek yang sering di jual di pinggir jalan.

“Bagaimana bisa Griya, kau gila kah?” Tanya Behuku sembari menempelkan telapak tangannya pada jidat Griya yang cukup lebar.

Belum sempat Griya menjawab, ia melanjutkan kalimatnya “Jangan menghayal! hahaha…” lagi-lagi Behuku meledek Griya setengah tak percaya.

“Serius Behu, ayahku pak Huswa, kau pasti tau kan?” Tanya Griya sembari meyakinkan.

“Mimpi kali kau anak muda,” timpal Behuku sambil mengelus pundak Griya layaknya seorang ibu yang iba pada anaknya.

“Lihat ini, tapi jangan bilang siapapun!” tegas Griya sambil memperlihatkan deretan foto keluarga. Disana jelas terlihat pak Huswa bersama istri dan anaknya yang paling bungsu sedang duduk di kursi, Griya dan kakak perempuannya berdiri di samping. Mereka menggunakan dresscode putih, sepertinya foto itu di ambil saat lebaran.

“Kenapa aku tak boleh bilang siapapun?” tanya Behuku, kali ini ia terkejut.

“Nanti aku cerita dan kamu akan paham,” jawab Griya singkat.

“Hmm… jangan-jangan kau tidak normal Griya, karena kalo aku jadi kau pasti sudah keliling Indonesia, terus ku coba seluruh makanan dari sabang sampai merauke,” hayal Behuku masih dengan tawa khasnya dan terus melahap keripik pisang UMKM yang di buat Ibu-ibu komplek, baginya Makan bukan lagi kebutuhan, lebih dari pada itu adalah hobi yang harus dilestarikan. Ia tak peduli berapa angka yang akan keluar saat ia menginjak timbangan, hal terpenting dalam hidup ‘ia bahagia dengan segala kesengsaraanya’.

“Behu, aku serius!” tegas Griya.

“Siapa yang sedang bercanda?” Tanya Behuku sambil menatap Griya.

“Aku mau cerita,” bola mata Griya memperlihatkan keseriusan.

“Aku mau mendengar ceritamu,” jawab Behuku dengan enteng.

“Behu,” ucap Griya dengan nada kecewa.

“Aku disini,” timpal Behuku dengan wajah menyebalkan dan selalu berhasil menggoda Griya.

“Ah, Behu!” dengus Griya mulai kesal.

“Hehe, ceritalah!” bujuk Behuku.

“Behu aku….” baru saja Griya akan memulai cerita, tiba-tiba Behuku memotong perkataanya.

“Maaf aku ingin potong dulu ucapanmu,” Behuku membetulkan rambut yang menghalangi matanya, lalu berkata “kau kan anak Wali Kota Griy, tapi kenapa kau mau jadi volunteer yang kerjaannya panas-panasan, ujan kedinginan dan kadang kena air selokan, masuk ke pelosok-pelosok tanpa di bayar?” Pertanyaan Behuku seperti sedang menginterogasi dengan wajah yang mulai serius.

“Justru dari sana aku banyak belajar,” Jawab Griya “aku belajar tentang kemanusiaan, tentang kehidupan, tentang kebersamaan dan juga tentang perjuangan,” Griya menarik napas pelan, lalu melanjutkan kalimatnya “dari sana aku paham bahwa kebahagiaan tidak selalu terkait dengan harta atau kedudukan semata, hidup butuh perjuangan bukan hanya tentang telunjuk tangan,” tuturnya.

“Orang kaya memang begitu, telunjuknya ajaib mampu membuat siapa aja tunduk, keren bukan?” ungkap Behuku menyeringai.

“Belum selesai,” sanggah Griya, menelan ludah.

“Wah maaf, aku pikir sudah, lanjut lah!” Pinta Behuku sembari memandangi anak-anak yang sedang berenang di sungai keruh yang lebih tepat di sebut selokan, sepertinya mereka hidup bahagia tanpa beban. Anak-anak itu tak pernah memikirkan apa akibat dari disahkannya Undang-undang Cipta Kerja atau bahkan tak pernah terbesit untuk berpikir bagaimana masa depan pendidikannya setelah vakum karena hadirnya virus Corona yang cukup lama menyapa.

“Behu, aku amat sangat sayang ayahku tapi tak bisa aku pungkiri kalo sering kali aku juga muak dengan perilakunya yang menganggap enteng segala kehidupan hanya karena limpahan harta dan kedudukan,” Griya tertunduk, ia mulai bercerita setelah sekian lama menyimpan rapat masalah pribadinya. Pada Behuku ia yakin ceritanya hanya akan menjadi konsumsi pribadi saja, bukan karena Behuku hobi makan, tetapi ia memang orang yang malas menceritakan cerita orang lain pada yang lain.

Behuku di buat diam dengan paparan Griya yang cukup dalam, meski sesekali terkekeh ia juga mengangguk-anggukan kepala bukti bahwa ia paham.

“Paparan yang sangat menakjubkan,” puji Behuku sambil mengelus kepala Griya layaknya guru yang bangga pada murid, saat Griya berusaha melepaskan tangannya ia pun tertawa.

Mungkin Behuku lahir saat Tuhan sedang terhibur, lalu sengaja memberikan gelar humor padanya, entah bagaimana penyerahannya yang jelas tawa sudah melekat dalam kepribadiannya. Behuku tipikal orang yang cenderung sulit memuji orang lain, apalagi jika itu memang tidak di perlukan. Ia cenderung pendiam dalam keramaian dan ramai hanya dengan beberapa orang saja, meski begitu sama sekali tak mengurangi humor yang ia miliki. Setelah keduanya terdiam, Griya mulai kembali merangkai kata.

“Behu, aku ingin melanjutkan pendidikan,” ungkap Griya dengan wajah murung, sepertinya ada sesuatu yang cukup serius yang sedang menimpa kehidupannya.

“Terus apa masalahnya? bukannya anak Wali Kota lebih mudah dengan akses-akses yang berhubungan dengan hal itu?” Tanya Behuku asal.

“Justru itu yang jadi masalah, ayah bilang aku hanya cukup menunjuk ingin kuliah dimana dan aku akan belajar di sana,” ungkap Griya.

Ia mengambil Tumbler biru yang berisikan air putih, meminumnya lalu melanjutkan pembicaraan “aku bingung kenapa pihak akademik di beberapa kampus masih saja bermain dengan ketidakjujuran, bagaimana akan melahirkan generasi yang unggul jika dari awal saja dramanya seperti itu.”

“Bukankah itu lebih baik, lebih memudahkan kau?” Tanya Behuku, berlaku bodoh.

“Behu, aku tak ingin diterima di suatu universitas hanya karena ayah, aku tak ingin mereka mengenalku karena ayah. Aku ingin mereka mengenaliku apa adanya aku, ayahku tetap ayahku tapi aku tetaplah aku, itu alasan kenapa kau tak boleh bilang pada siapapun kalo aku anak wali kota,” tegasnya.

Behuku terdiam cukup lama, menimang-nimang botol kosong lalu tersenyum “Griya, aku cemburu denganmu, aku sempat tak percaya kalo di dunia ini masih ada orang yang sepertimu, aku ingin secantik hatimu,” bisik Behuku sambil memeluk Griya.

“Aku harus gimana, Behu?” tanya Griya dalam pelukan.

“Kamu bicarakan hal ini pada ayahmu dengan model komunikasi yang terbaik,” saran Behuku dengan mimik serius, yang malah terlihat lucu.

“Aku gak berani, ayahku keras kepala,” tolak Griya mentah-mentah.

Behuku menatap tajam ke arah Griya seraya menempelkan kedua telapak tangannya tepat di pundak kiri dan kanan “Griya, seseorang pernah berkata padaku kalo komunikasi yang baik akan mampu meluluhkan hati siapapun, apalagi orang tua yang memang kaitannya dekat dengan kita, aku yakin kamu bisa!” Behuku meyakinkan Griya.

Griya terdiam mencerna kembali omongan Behuku “Aku harus berani, aku yakin dalam segala kebaikan selalu terlibat tangan Tuhan,” lirih Griya dalam hati.

“Oke Behu, aku pikir itu ide yang bagus, terima kasih atas sarannya, aku akan mencobanya,” ungkap Griya sembari beranjak pergi.

“Hati-hati di jalan!” pesan Behuku.

“Iya Behu, see you!” Griya melambaikan tangan, mengayuh sepeda dengan cepat, gelap malam akan segera menyapa bersama segala keresahannya, meski begitu Griya tetap tersenyum menyambut kedatangannya karena ia ingin segera bertemu ayah tercinta lalu mencurahkan seluruh kegelisahannya.

- Advertisment -

BACA JUGA