BerandaNEWSLiputan KhususSiapkah UIN Jadi Kampus Inklusif?

Siapkah UIN Jadi Kampus Inklusif?

Penulis: Suci Amelia – LPM Sigma UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten

Sosialisasi dari Kementerian Agama (Kemenag) untuk menjadikan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) sebagai kampus inklusif semakin gencar dilakukan sejak akhir 2023.  Tapi apakah kampus kita sudah siap jadi inklusif? 

Mengutip laman Kemenag, Direktorat Kementerian Pendidikan Tinggi Islam Kemenag, Ahmad Zainul Hamdi, mengingatkan agar kampus-kampus PTKIN tidak mewajibkan peraturan Islam kepada mahasiswa bukan muslim mereka, seperti menghafal 30 juz Al Quran dan berjilbab. Namun bagaimana dengan mahasiswa atau tamu muslim yang berbeda pandangan tentang ukuran kesopanan berpakaian? Adakah kampus juga terbuka dengan perbedaan pendapat mengenal kewajiban berjilbab bagi muslimah? 

sumber: instagram @dazenvrilla
sumber: instagram @dazenvrilla

Pihak staf dan pejabat kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Maulana Hasanuddin, Serang, Banten nampaknya belum sepakat tentang aturan yang ditetapkan kepada sesama muslim. Sebuah insiden terjadi pada presenter dan influencer Dazen Vrilla ketika menjadi narasumber di acara Pengenalan Budaya Akademik Kampus (PBAK) UIN Banten pada Agustus 2023 lalu.

Saat berada di belakang panggung, seorang pejabat kampus menegur Dazen secara terbuka karena tidak menutup rambut dan memintanya untuk berjilbab dulu sebelum naik ke panggung. Teguran tersebut terasa cukup menyudutkan Dazen karena dilakukan di hadapan sejumlah panitia dan dosen.

“Padahal Dazen datang dengan pakaian yang sopan dan rapi yaitu memakai celana panjang hitam dan baju lengan panjang hitam dan tertutup  tapi tidak menggunakan jilbab. Hal tersebut terjadi sebelum masuk panggung dan disaksikan oleh kita-kita dan para dosen. Dazen kemudian sampai harus meminjam kerudung asistennya yang menggunakan jilbab,” Sukma mahasiswa Program Studi Penyiaran Islam Fakultas Dakwah sekaligus panitia PBAK yang bertugas menemani narasumber mengisahkan ulang apa yang terjadi hari itu.

  Pihak panitia menawari Dazen untuk menggunakan selendang (kain yang diselempangkan saja tanpa ada jahitan di bagian leher), tetapi Dazen khawatir selendang yang digunakan akan lepas saat mengisi acara.  Akhirnya setelah sejumlah  pertimbangan  Dazen memutuskan mengenakan jilbab yang sedang dipakai oleh asistennya dan asistennya-lah yang menggunakan selendang. Insiden itu sempat membuat Dazen resah dan berada dalam situasi kurang menyenangkan, padahal ia hanyalah tamu di kampus dan bajunya toh cukup tertutup. 

Hal serupa juga pernah dialami Viona, mahasiswi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, la datang untuk mengikuti pelatihan jurnalistik. Namun sebelum bisa masuk ke lingkungan kampus, ia dipanggil oleh satpam  karena tidak mengenakan jilbab. Viona diberitahu adanya peraturan terkait pakaian wajib di wilayah kampus UIN Banten. Pada akhirnya Viona dibolehkan masuk dan diberikan dispensasi atas ketidaktahuannya terkait peraturan di kampus UIN.

“Kalau aturan ditetapkan kepada sivitas akademik kampus, masih masuk akal. Tapi jika kewajiban itu diberlakukan juga kepada setiap tamu, kok menurut saya kurang pantas ya. Indonesia ini kan terdiri dari beragam agama,” keluh Viona 

Para mahasiswa dan aktivis kampus UIN SMH Banten memiliki ragam pendapat seputar kewajiban jilbab bagi muslimah ini. Ervin,  mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Adab sekaligus Ketua Umum Keluarga Mahasiswa Pandeglang Komisariat UIN SMH Banten menyayangkan pembatasan hak berpakaian di lingkungan kampus.  

“Kampus harusnya menjadi wadah yang bisa membuat pikiran manusia yang lebih terbuka dan tidak taklid hanya kepada satu ajaran. Memang kita mesti menghargai budaya kampus UIN, tapi andai saya jadi rektor sih rasanya ingin deh bisa menghilangkan aturan tersebut,” ujar Ervin. 

Wildan Mufti Maqi selaku Wakil Presiden Dewan Eksekutif Mahasiswa Universitas (DEMA U) berpendirian mahasiswa luar dan tamu pengunjung kampus mesti dihormati pilihan berpakaiannya.

 “Tidak seharusnya tamu atau orang luar kampus dipandang aneh karena berpenampilan berbeda dari kultur di kampus kita. Di kampus kita kan mahasiswi mengenakan rok semata kaki, memakai kaos kaki, jilbab sedada dan bahkan memakai ciput. Tapi kita hargai saja perbedaan kultur, tidak perlu bersikap angkuh,” ujar Wildan.  

Nurul Angraeni, mahasiswi Fakultas Syariah menjelaskan fenomena mengenakan hijab dalam Islam di Indonesia memiliki sejarah panjang serta penafsiran yang beragam. 

“Memang ada perintah untuk menutup bagian-bagian tertentu dari tubuh, baik lelaki maupun perempuan, kita sepakat. Ada perintah memanjangkan kain sampai menutupi dada, ada yang percaya mesti menutup kepala.   Ketika itu akan diterapkan, timbul berbagai penafsiran. Sayangnya orang yang berbeda mazhab kadang masih menghakimi keyakinan orang lain yang dianggap salah,” kata Nurul. 

Bagaimana Pandangan Tokoh Kampus UIN? 

Sumber: produksi LPM SiGMA
Sumber: produksi LPM SiGMA

Hidayatullah selaku Wakil Rektor 3 Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama menafsir imbauan inklusif  dari pejabat Kementerian Agama itu  terkait kepada tidak adanya kewajiban berjilbab dan aturan syariat lainnya kepada mahasiswa bukan muslim. 

“Prof. Inung dari Kementerian Agama menjelaskan bahwa berpakaian harus sesuai kode etik berdasarkan keadaban publik. Sedangkan setiap kampus memiliki aturan tersendiri terkait kode etik masing-masing lembaga.  Non muslim tidak wajib berjilbab, kecuali jika yang bersangkutan ingin melakukan secara sukarela. Tapi kepada mahasiswi muslimah, UIN memang mewajibkan berjilbab selama berada di lingkungan kampus,” ujarnya.

Peraturan tersebut menurut Hidayatullah harus dipahami dalam konteks edukasi, sebagai upaya menanamkan ajaran agama kepada mahasiswa.

Sedangkan bagi tamu yang berkunjung ke kampus UIN tidak ada tuntutan untuk berjilbab karena bisa saja mereka bukan muslim atau muslimah yang belum terbiasa dengan memakai jilbab, seperti mitra dari lembaga swasta. Selama mereka menjaga standar kepatutan dan kesopanan yang berlaku di lingkungan warga UIN. 

Tentang kewajiban berjilbab bagi muslimah, Hidayatullah berkeyakinan pendapat jumhur (mayoritas) ulama mengatakan bahwa berjilbab bagi perempuan adalah kewajiban agama. Pendapat ini didasarkan pada beberapa dalil, di antaranya yang paling populer adalah Q.S Al Ahzab ayat 59 dan hadis Nabi Muhammad SAW yang menyebutkan bahwa perempuan hanya boleh terlihat wajah dan telapak tangannya. 

 Meskipun demikian, di kalangan para guru besar UIN juga masih terdapat perbedaan pendapat seputar jilbab. Prof Musdah Mulia yang juga dosen pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dalam berbagai kesempatan menegaskan bahwa jilbab seharusnya menjadi pilihan dan bukan kewajiban bagi muslimah. 

Semua hal yang dipaksakan bertentangan dengan esensi dari ajaran Islam sendiri. Agama itu harus dijalankan dengan sukarela, jangan dipaksakan. Kalau sudah dibikin peraturan, berarti di sana ada pemaksaan,” demikian tutur Musdah. 

Musdah juga menyatakan tidak ada jaminan bahwa pemakai jilbab adalah perempuan salihah, atau sebaliknya perempuan yang tidak memakai jilbab bukan perempuan salihah, karena jilbab tidak identik dengan kesalehan dan ketakwaan seseorang.

Aturan Mewajibkan Hijab di UIN, Sejak Kapan? 

Berdasarkan penelusuran kami, peraturan berpakaian di UIN ternyata mengalami perubahan dari waktu ke waktu.  Nong Darol Mahmada, alumni UIN Syarif Hidayatullah yang lulus tahun 1998—saat itu masih disebut IAIN– Jurusan Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin.  Nong menuturkan di masa kuliahnya 1993-1998, tidak ada aturan secara tertulis yang menyatakan wajib menggunakan jilbab saat berkuliah. 

“Saat itu dosen perempuan yang mengajar di kelas pun tidak memakai jilbab, hanya memakai selendang saja, ya seperti contoh kerudungnya Ibu Sinta Nuriyah (istri Kyai Abdurrahman Wahid). Rata-rata mahasiswa waktu itu menganggap jilbab seperti seragam saja, jadi kalau di kelas pakai, tapi di luar kelas tidak pakai pun tidak masalah,” kenang Nong. 

Menurut penelitian Nong, jilbab mulai dikenal di Indonesia setelah Revolusi Iran 1979 sebagai simbol perlawanan atas dominasi negara Barat.

“Sebelum itu Islam di Indonesia tidak memiliki tradisi memakai jilbab seperti saat ini.  Bisa kita lihat dari foto-foto dokumentasi sejarah perempuan-perempuan muslim atau istri para tokoh Islam, misalnya seperti Nyai Ahmad Dahlan atau  Nyai Hasyim Asy’ari. Mereka kan hanya  pakai kerudung saja, Jadi berjilbab itu tren yang relatif baru di Indonesia,” ujar Nong yang skripsinya mengangkat topik jilbab. 

Berdasarkan kajian tekstual yang dilakukan Nong, ia berkesimpulan bahwa jilbab sebetulnya lebih merupakan imbauan ketimbang kewajiban. Nong menjelaskan di zaman Nabi Muhammad SAW, imbauan berjilbab itu sebetulnya diperuntukkan hanya bagi istri-istri Nabi untuk melindungi mereka dari pelecehan yang dilakukan kalangan musyrik. 

“Lalu imbauan berjilbab diperluas kepada perempuan merdeka.  Tapi perempuan budak justru dilarang berjilbab. Kesimpulan saya, sejarah pemakaian jilbab itu sebetulnya sangat elitis, karena untuk membedakan identitas antara perempuan budak dan perempuan merdeka,” tutur Nong.   

Perubahan kewajiban hijab di UIN ini menurut Nong berbanding lurus dengan tren yang terjadi di lingkup nasional maupun global.  Di Indonesia, merebaknya kewajiban jilbab terjadi setelah otonomi daerah di awal 2000-an. 

Dikutip dari laman HRW.org, peneliti senior Human Rights Watch untuk Indonesia, Andreas Harsono mengatakan sejak 2001 pemerintah daerah telah mengeluarkan lebih dari 60 peraturan daerah yang memaksa perempuan mengenakan jilbab. Aturan serupa juga diberlakukan di hampir 300 ribu sekolah negeri di 24 provinsi terutama yang berpenduduk mayoritas muslim. Ada sejumlah kasus dimana aturan tersebut telah mendorong sejumlah siswi dan dosen yang tidak mengikuti aturan itu, untuk mundur atau keluar dari sekolah. Sebagian perempuan juga kehilangan kesempatan promosi atau bahkan pekerjaannya karena tidak memenuhi tuntutan berjilbab. 

Bila seperti itu kasusnya, apakah kewajiban jilbab masih bisa dikatakan sesuai dengan prinsip Islami?  

Menarik menelusuri perbedaan pandangan dan debat seputar jilbab yang telah menjadi bagian dari kekayaan khazanah dunia Islam selama berabad-abad. Sebagai kampus Islam, UIN pun tak bisa menutup mata dari keragaman pandangan ini karena  para cendikiawan muslim  masih berbeda pendapat mengenai kewajiban berjilbab bagi muslimah. 

Jika PTKIN termasuk UIN Banten memang berkomitmen menjadi kampus yang inklusif, kewajiban berjilbab bagi mahasiswa muslimah pun mungkin penting dikaji ulang. Menjadi inklusif  berarti bisa terbuka pada perbedaan pandangan, bahkan tentang sesuatu seperti jilbab yang bagi kebanyakan orang sudah tak perlu dipertanyakan lagi.

***

Liputan ini menjadi bagian dari program pelatihan dan hibah Story Grant “Anak Muda Ciptakan Ruang Aman Keberagaman di Media” yang dilaksanakan oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK). Terlaksana atas dukungan rakyat Amerika Serikat melalui USAID. Isinya adalah tanggung jawab SEJUK dan tidak mencerminkan pandangan Internews, USAID, atau pemerintah AS.

- Advertisment -

BACA JUGA