BerandaSastraBunga-bunga Ramadhan

Bunga-bunga Ramadhan

Bagian Awal : Keutamaan Shalat Tarawih

Sudut kota begitu ramai ditengok, hilir mudik orang bagai tak teralihkan. Kala itu, Nasya, perempuan yang terduduk di warung kopi, di bibir Bundaran. Dia duduk di antara lelaki tua yang sedang menyeruput kopi sambil menonton televisi. Meski begitu, seperti kebanyakan orang yang nongkrong di warung kopi, mie instan rasa kari jadi menu andalan Nasya selepas penat atas roh duniawi.

“Bi Jum, kopi hitam merek kapal api satu!” sahut lelaki tua yang baru saja turun dari motor revo keluaran tahun 2010.

Nasya meliriknya tanpa henti. Bukan apa, dia duduk tepat di sebelah Nasya dengan linting rokok di antara jari telunjuk dengan jari tengahnya, dan itu sedikit membuat Nasya yang anti rokok merasa tidak nyaman.

Uhuk.. uhuk..

“Besok mah puasa, warung-warung pada tutup. Jadi, puas-puasin ngopi untuk hari ini” ujar lelaki tua itu, meski tenggorokkannya sudah tak mampu lagi untuk menghisap asap rokok.

“Maaf pak…” ucapnya menggantung. Nasya mengurungkan niat nya. Di warung kopi semua orang bebas untuk melakukan apapun. Yah, karena merupakan tempatnya. Namun, rasanya sangat sesak jika dibiarkan.

Lelaki sebayanya pun menjauh dari Nasya untuk menghisap asap surga duniawi itu.

“Iya Neng, kenapa?” tanya lelaki tua itu, dengan nama Yatna yang terpasang di dada kiri jaketnya.

“Nih kopinya, tuh gabung sama aki-aki yang lain. Si Neng anti asap rokok!” Bi Jum seolah mengerti atas keterdiaman Nasya yang tak melanjutkan bicaranya.

Dengan menyodorkan kopi, lantas menyuruh Pak Yatna untuk pergi dan bergabung dengan laki-laki tua yang lain. Disana terlihat mereka tengah duduk satu meja dengan pandangan satu arah, menatap televisi menunggu sidang isbat. “Maaf ya Neng, Pak Yatna pelanggan yang jarang-jarang kesini, jadi gak tau kebiasaan Neng” jelasnya.

“Gak apa-apa, Bi. Semua orang kan gak perlu tau kebiasaan saya” ucap Nasya dengan nada legowo.

“Wajib tau atuh, Neng. Nasya kan pelanggan perempuan satu-satunya di warung kopi Bibi” Bi Jum berlebihan dalam menggambarkan diri Nasya, sedikit membuat Nasya canggung

“Nanti kalau Neng Nasya gak kesini-sini lagi gara-gara asap rokok, gimana? Bibi jadi kehilangan satu-satunya pelanggan perempuan yang bibi punya”

“Bibi bisa aja,” kata Nasya dengan malu-malu.

Kegiatan Nasya di tempat itu telah usai, mie kari andalannya telah bersih pada mangkok ayam milik Bi Jum. Begitu pula pada teh susu sebagai teman dari mie kari. Ini saatnya dia untuk pergi. Sebelumnya, Nasya harus lebih dulu berpamitan pada aki-aki yang dirasa jumlahnya tak berkurang sama sekali sedari tadi. Posisi duduknya masih sama, bahkan tak ada yang berpindah atau pergi dari tempat duduknya.

“ESOK PUASA!! BI JUM ESOK PUASA!!!” Teriak semuanya, menggelegar pada warung kopi yang berdinding terpal itu.

“BERISIK!! Kayak masih budak bae” Bi Jum lantas kesal dengan teriakan aki-aki yang mungkin cucunya sedang menanti di rumah.

“Bi, pamit yah..” ujar Nasya, memotong kekesalan Bi Jum. “Aki-aki semua, Nasya pamit yah” dirinya bangkit dari kursi dan bersiap untuk pergi.

“Mau kemana neng Nasya?” Tanya dari salah satu mereka, yang Nasya ingat namanya adalah Aki Anwar, duduk tepat di hadapan televisi, menyortir aki-aki yang lain.

“Mau nyiapin sahur!” ujar Nasya.

“Sahur disiapin” kata Ki Anwar, dengan lantas ucapannya membentuk gelak tawa pada laki-laki lainnya. Meskipun Nasya sendiri tidak tau mengapa mereka tertawa, padahal ucapan Ki Anwar nampak sepele di telinganya. Yah, mungkin itu yang dinamakan jokes bapak-bapak.

‘Tak dapat kumengerti, meski kucoba..’

“JANGAN LUPA SHOLAT TARAWIH NENG!!!” Teriak Ki Anwar, saat mendapati Nasya hendak pergi dengan motor beat 2017 warna putih.

Sekian hampir satu jam bergelut dengan jalanan perkotaan, Nasya telah sampai di sebuah rumah sepetak, sebut saja kontrakan. Tinggal sendirian di tengah-tengah kota membuat ia merasa kesepian. Saat kanan-kirinya penuh akan keramaian dan juga keharmonisan, membuat ia kadang kala ingin menyerah atas roh duniawi yang kerap merasuki untuk terus memaksanya bekerja.

Lagi dan lagi. Ramadhan kali ini sangatlah sepi, lantas membuatnya berpikir bahwa tiada yang istimewa dari sebuah Ramadhan. Semuanya masih sama, masih terasa sepi diantara keramaian, sedih diantara kebahagian.

Memilih duduk di depan teras, kala syair Tuhan berirama di telinga Nasya merupakan suatu hal yang salah. Tante Rona, pemilik rumah sepetak yang Nasya diami nampak datang menghampiri dari pintu gerbang.

Sebentar lagi..

“Nasyaaaa” Yap, teriakannya begitu menggelegar di telinga, iring-iringan dengan syair Tuhan.

“Aduh gustiii, anak satu ini! sidang isbat udah dinobatin, besok puasa! Jam segini masih pake baju kerja. Ayuk tarawih!” cerewet sekali Ibu dengan usia setengah abad ini, dengan sajadah yang menggelang ditangan kanan, menyuruh Nasya seakan-akan anaknya. Mungkin, karena hanya Nasya penunggu rumah sepetak tanpa keluarga.

“Baru pulang kerja tante” ucap Nasya dengan wajah yang memelas, seakan meminta untuk diberi ampun atas naungan suara yang membuat bangun manusia sekampung.

“Capek tante.. lagian, Sunnah kan?”

“Aduh Nasyaaa, walaupun shalat tarawih itu merupakan shalat sunah, akan tetapi rugi bagi kamu, apalagi ini awal di bulan Ramadhan. Ketahuilah Nasya, tante pernah baca satu hadits dari Abu Daud dan Tirmidzi dengan arti ‘Barang siapa yang ikut melaksanakan shalat tarawih berjamaah bersama imam sampai selesai, maka baginya akan dicatat seperti salat semalam penuh’ gak hanya itu..” ucap Tante Rona, bak mamah dedeh yang sedang berceramah di depan rumah petak.

“Tante, masih ada hari esok” Nasya memotong bicara dari mulut Rona.

“Suatu kebaikan itu jangan di tunda-tunda, Nasya. Kamu lagi capek kan?” tanya Tante Rona, dibalas dengan anggukkan Nasya yang memelas “Shalat tarawih itu bisa menyehatkan jasmani dan rohani kamu” imbuhnya.

“Iya, Tante. Nanti, Nasya nyusul ke masjid..” ucap Nasya dengan nada lemas.

Keputusan dari kepasrahan Nasya membuat Rona sedikit puas, ia dengan lantas pergi meninggalkan Nasya yang sudah bersiap untuk masuk ke dalam rumah petak dengan bertuliskan angka lima di depan pintu kayu kontrakannya. Rona tak sedikit curiga, anak dengan usia 20 tahun itu bisa saja masuk untuk merebahkan tubuh. Rona yakin gadis itu tak akan membohonginya.

Bersambung…

Penulis : Lydia
Editor : Nazna

- Advertisment -

BACA JUGA