Tradisi berbuka puasa dengan takjil sudah menjadi bagian yang tidak bisa terpisahkan dari budaya masyarakat muslim di Indonesia. Istilah “takjil” seringkali digunakan untuk merujuk pada makanan atau minuman ringan yang disajikan ketika berbuka puasa. Namun, di balik tradisi ini, terdapat sejarah panjang yang menunjukan perkembangan makna serta nilai sosial dari takjil.
Kata “takjil” berasal dari bahasa Arab “ta’jil” yang berarti “menyegerakan” atau “mempercepat”. Dalam konteks puasa, istilah ini merujuk pada anjuran untuk menyegerakan berbuka puasa ketika matahari terbenam, sebagaimana dianjurkan dalam hadis Nabi Muhammad SAW ”Manusia masih terhitung dalam kebaikan selama ia menyegerakan berbuka”(HR.Bukhari dan Muslim). Penggunaan istilah ini mempertegas pentingnya menyegerakan berbuka sebagai bagian dari ibadah Ramadhan.
Namun, seiring berjalannya waktu, makna takjil mengalami perluasan. Di Indonesia, takjil lebih sering diartikan sebagai makanan atau minuman ringan yang disajikan ketika berbuka puasa. Pergeseran makna ini menunjukkan bagaimana bahasa dan budaya lokal saling mepengaruhi dalam membentuk tradisi keagamaan.
Tradisi takjil di Indonesia mempunyai akar sejarah yang panjang. Snouck Hurgronje dalam karyanya De Atjehers (1893) mencatat bahwa masyarakat Aceh telah melaksanakan tradisi berbuka puasa bersama di masjid dengan menyajikan bubur pedas atau “ie bu peudah”. Tradisi ini menunjukan bahwa praktik menyediakan makanan berbuka sudah menjadi bagian dari budaya Muslim di Nusantara sedari lama.
Di Jawa, peran Wali Songo dalam menyebarkan Islam turut memperkuat tradisi takjil. Wali songo menggunakan momen berbuka puasa sebagai sarana dakwah dengan menyajikan makanan khas setempat, seperti kolak dan jenang. Praktik ini bukan hanya memperkenalkan ajaran islam, tetapi juga sebagai cara mempererat hubungan sosial di antara masyarakat.
Selain mempunyai dimensi religius, tradisi takjil juga berfungsi sebagai sarana pemersatu masyarakat. Penelitian dari UIN Sunan Gunung Djati Bandung menunjukan bahwa berbagi takjil saat bulan Ramadhan memperkuat solidaritas sosial dan semangat gotong royong di masyarakat. Tradisi ini tidak hanya melibatkan keluarga, tetapi juga komunitas masjid, organisasi sosial, dan kelompok pemuda.
Takjil juga menjadi simbol kepedulian sosial. Kegiatan berbagi takjil gratis untuk kaum dhuafa dan musafir menunjukkan nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung dalam ajaran Islam. Hal ini sejalan dengan konsep “hablum minannas” atau hubungan baik antar sesama manusia dalam islam.
Berkembangnya zaman, tradisi takjil mengalami adaptasi sesuai dengan dinamika sosial serta teknologi. Di era digital, banyak komunitas serta organisasi yang menggunakan platform online untuk menggalang dana dan mengorganisir pendistribusian takjil. Penelitian yang dilakukan Rizki dkk, menunjukkan bahwa media sosial memainkan peran penting dalam meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan sosial selama bulan Ramadhan.
Selain itu, variasi takjil semakin beragam dengan inovasi-inovasi kuliner yang memadukan cita rasa tradisional dan modern. Meskipun demikian, esensi takjil sebagai simbol kebersamaan dan kepedulian sosial tetap terjaga.
Penulis: Paiz
Editor: Lydia