Beranda blog Halaman 10

Duka Yang Dibungkam: Refleksi Film “Women From Rote Island”

0

Oleh: Olip – Mahasiswa Fakultas Dakwah

Pada Rabu 19 Februari 2025, beberapa organisasi mahasiswa eksternal mengadakan kegiatan bedah film karya Jeremias Nyangoen dengan judul “Women From Rote Island” di parkiran fakultas dakwah.

Kegiatan ini diselenggarakan oleh Gerpuan Hasanuddin, HAMAS, IMC, KMS, dan KOPRI PMII Komisariat UIN SMH Banten, sebagai upaya untuk meningkatkan kesadaran gender, pencegahan kekerasan seksual dan kritik terhadap Lembaga kampus serta organisasi mahasiswa, yang cenderung abai dan tidak memprioritaskan isu kekerasan seksual.

Film Women From Rote Island, karya Rumah Produksi Bintang Cahaya Sinema dan Langit Terang Sinema, mendapat penghargaan Citra Festival Film Indonesia (FFI 2023) sebagai film cerita panjang terbaik. Jeremias Nyangoen sebagai sutradara juga mendapat penghargaan kategori penulis skenario asli terbaik dan sutradara terbaik. Pada piala Oscar 2025 atau ajang Academy Awards ke-97, film tersebut masuk nominasi Oscar Best International Feature Film. Tidak diragukan lagi, film ini sangat bagus untuk ditonton.

Film ini mengkampanyekan kekerasan seksual yang masih dianggap tabu dan cenderung berpihak pada pelaku ketika terjadinya tindakan kekerasan seksual. Lambannya penanganan kasus oleh lembaga penegak hukum, menjadikan film ini relate dengan kondisi di kampus UIN SMH Banten yang belum memprioritaskan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual dikampus.

Ketidakseriusan itu dapat kita lihat dari kerja-kerja Lembaga PSGA dan SATGAS PPKS, keberpihakan civitas akademik, serta instrument hukum yang dimiliki oleh kampus. Forum yang dihadiri oleh mahasisiwa dari berbagai jurusan mengaku belum mengetahui adanya Lembaga PSGA dan Satgas PPKS di kampus. Termasuk siapa saja yang ada pada lembaga tersebut dan instrument hukum apa yang digunakan dalam pencegahan dan penanganan nya.

Padahal, pada tahun 2021 rektor mengeluarkan kebijakan berupa SK Rektor Nomor 1120 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan UIN SMH Banten. Akan tetapi, PSGA ataupun SATGAS PPKS tidak pernah mensosialisasikan kebijakan tersebut, baik melalui tulisan, diskusi maupun dalam seminar.

Sedangkan kekerasan seksual kian hari terus terjadi, pelaku masih dapat berkeliaran, korban kebingunan melapor, dan trauma menghantui setiap langkah dari korban. Baik organisasi mahasiswa ataupun kampus, sampai saat ini belum memprioritaskan isu kekerasan seksual dan cenderung abai serta masih menganggap sebagai isu kelompok perempuan.

Lembaga kampus harus hadir untuk meyakinkan mahasiswa bahwasanya, kampus UIN SMH Banten aman sebagai tempat untuk menempuh pendidikan. Mengintimidasi mahasiswa yang menyuarakan aspirasi itu bukan ciri seorang akademisi. Maka bangunan perspektif eksistensi kampus harus berlandaskan pada kebenaran, keadilan, dan keberpihakan pada korban.

Memilih diam di tengah carut marut kekerasan seksual di kampus berarti berpihak pada ketidakadilan. Duka korban dibungkam secara srtuktur dan sistemik di tempat orang-orang belajar berkumpul. Padahal, pengetahuan itu untuk mempertajam pikiran, melembutkan hati, mendidik ego, menguatkan iman, dan berpihak pada kebenaran dan keadilan. Situasi hari ini justru kampus mengalami surplus, kenakalan seksual dan defisit kenakalan intelektual, akibat dari menormalisasikan kekerasan seksual dengan diam dan abai.

APMS adakan Diskusi Film “Cut to Cut” Sebagai Solidaritas terhadap Pekerja Media

0

Serang, lpmsigma.com – Aliansi Pers Mahasiswa Serang (APMS) mengadakan nonton bareng dan diskusi film dokumenter Cut To Cut, dengan berfokus pada Serikat Pekerja sebagai bentuk Solidaritas, pada Minggu (23/02).

Menurut Akhmad Khudori, salah satu pemantik diskusi menjelaskan bahwa, acara nonton bareng ini merupakan upaya untuk meningkatkan kesadaran pers mahasiswa tentang pemotongan hak upah dan serikat para pekerja.

“Acara nonton film ini dibuat karena untuk meningkatkan kesadaran para pers mahasiswa, khususnya tentang pemotongan upah dan serikat pekerja,” ungkapnya.

Selain itu ia juga menambahkan, bahwasanya perjuangan para pekerja wanita khususnya dalam film tersebut difokuskan untuk semangat memperjuangkan hak-haknya, serta tidak pantang menyerah dan tunduk pada kuasa.

“Para perempuan khususnya yang berjuang harus solidaritas untuk mendapatkan hak-hak nya, sehingga tidak menyerah dan tunduk pada kekuasaan diatas,” tambahnya.

Di tempat yang sama, Rasyid selaku Ketua LPM Lugas berpendapat, bahwa Solidaritas Pekerja Cnn Indonesia (SPCI) sendiri sangat memotivasi untuk merefrentasikan kehidupan yang kompleks serta film tersebut melibatkan rohani dari para pekerja.

“Solidaritas dari SPCI sendiri adalah bentuk berjuang bersama-sama untuk memotivasi kehidupan yang kompleks karena melibatkan rohani dari para pekerja itu sendiri,” ujarnya.

Reporter: Ayunda
Editor: Lydia

Petak Umpet Efisiensi Anggaran

0

Oleh: Ikhlas – Mahasiswa Fakultas Syariah

Saat ini, Indonesia dihidangkan dengan skenario klasik yakni efisiensi anggaran yang diklaim demi kemakmuran rakyat, tapi ujung-ujungnya hanya jadi ajang manipulasi instansi dan lembaga demi kepentingan segelintir elit. Mahasiswa, buruh, dan rakyat kecil dipaksa menelan kepahitan, sementara para penguasa masih bisa menikmati kemewahan tanpa terusik.

Pemerintah pusat berkoar soal pemangkasan anggaran untuk menghilangkan pengeluaran yang katanya tidak perlu. Dalihnya? Agar anggaran lebih tepat sasaran. Namun, ketika kebijakan ini turun ke daerah dan instansi lainnya, yang terjadi justru kebingungan massal. Anggaran dipangkas bukan dari sektor yang sebenarnya boros, tetapi justru dari hal-hal yang langsung menyentuh hajat hidup masyarakat. Beasiswa mahasiswa terancam, kegiatan akademik dibatasi, fasilitas publik terbengkalai, sementara di sisi lain, pengadaan tempat tidur mewah dan gaya hidup pejabat tetap aman sentosa.

Apakah ada koordinasi yang jelas antar instansi? Tentu saja tidak. Yang ada hanyalah permainan saling lempar tanggung jawab. Pemerintah pusat menyalahkan daerah, daerah menyalahkan instansi, dan instansi menyalahkan keadaan. Alhasil, rakyat yang sudah lelah bekerja justru semakin dicekik. PHK massal terjadi di berbagai sektor, kegiatan mahasiswa semakin dipersulit, dan kreativitas anak bangsa dipaksa mandek dengan dalih penghematan. Ironisnya, efisiensi yang digaungkan hanya berlaku bagi rakyat kecil, sementara kantong pejabat tetap gendut dengan segala tunjangan dan proyek yang entah manfaatnya untuk siapa.

Jika efisiensi anggaran benar-benar ingin diterapkan, seharusnya yang pertama kali dikorbankan adalah gaya hidup pejabat, bukan kepentingan masyarakat. Potong tunjangan yang tidak masuk akal, batalkan proyek-proyek absurd yang hanya menguntungkan segelintir orang, dan hentikan pemborosan dengan dalih fasilitas pejabat. Tapi nyatanya, yang terjadi justru sebaliknya. Ketika ada pemangkasan, rakyat yang pertama kali dikorbankan, sementara kaum elit justru makin nyaman dalam absurditas kebijakan yang mereka buat sendiri.

Maka pertanyaannya: di mana sebenarnya letak kesalahan ini bersembunyi? Apakah di balik meja rapat para pejabat yang terlalu sibuk menghitung untung rugi untuk diri sendiri? Ataukah di dalam laporan keuangan yang dipenuhi angka-angka manipulatif demi membenarkan kebijakan mereka?

Dan lebih penting lagi, kapan kebenaran akan terungkap? Atau mungkin, seperti biasa, rakyat hanya bisa menunggu sambil melihat para penguasa terus bermain petak umpet dengan moralitas mereka?

Takdir Ringkih di Bulan Kasih

0

[Oleh: Andre – Fakultas Syariah]

Elegi kamis malam, tuan berkelana dengan amarah,
Pikirannya porak-poranda, bak insan kehilangan rumah.
Tak mampu beranjak dari hal yang sudah lalu,
Sebab pancaran puan yang tak lekang oleh waktu.

Di ujung malam, semua rasa yang terungkap bebas,
Meniadakan malu pada diri untuk tangis yang keras.
Bukan lagi tentang agar dikasihani,
Ialah karena melihat kemungkinan puan sulit kembali.

Isak tangis semakin deras pada pergantian malam menuju pagi,
Terlebih pada bagian puan mengatakan “aku tak bisa kembali”.
Dunia seakan runtuh,
Dan puan tak lagi menjadi tempat berlabuh.

Pada akhirnya kita tuli,
Puan tak ingin lagi mendengar tentang tuan,
Dan tuan tak ingin lagi mendengarkan selain tentang puan.

TETAP BERDIRI DIATAS KETIDAKPASTIAN HIDUP!

Regenerasi Para Musisi yang Dibredel Pemerintah

0

Baru-baru ini, band Sukatani terpaksa memberikan klarifikasi terkait lagu mereka yang berjudul “Bayar Bayar Bayar”. Dalam video tersebut, mereka meminta maaf kepada Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Apakah ini fenomena baru? Ataukah kita sedang mengulang sejarah, ketika kritik terhadap pemerintah dianggap sebagai ancaman yang harus dibungkam?

Di masa Orde Baru, pembungkaman terhadap musisi bukanlah hal asing. Kritik sosial dalam seni dipandang sebagai ancaman terhadap stabilitas kekuasaan. Berikut adalah lima musisi yang pernah mengalami sensor dan pencekalan oleh rezim Soeharto:

1. Iwan Fals

Sebagai salah satu musisi paling vokal, Iwan Fals kerap berhadapan dengan sensor pemerintah. Lirik-lirik tajam dalam lagu-lagunya, seperti Bento dan Galang Rambu Anarki, dianggap berbahaya. Konsernya sering kali dibubarkan oleh aparat keamanan. Pada 1984, ia bahkan mengalami interogasi berulang kali akibat lirik-liriknya yang mengkritik kondisi sosial dan politik Indonesia.

Pemerintah tidak hanya melarang konsernya, tetapi juga memperketat pengawasan terhadap karya-karyanya. Bersama grup Swami dan Kantata Takwa, Iwan Fals terus menyuarakan keresahan rakyat. Namun, tekanan dari penguasa membuat distribusi albumnya dipersulit, menunjukkan betapa takutnya pemerintah terhadap kritik dalam seni. (Sumber: Tempo, 1985)

2. Koes Plus

Sebelum dikenal sebagai Koes Plus, grup ini bernama Koes Bersaudara. Mereka pernah dipenjara pada 1965 hanya karena memainkan musik rock and roll, yang kala itu dianggap sebagai simbol budaya Barat yang bertentangan dengan kebijakan anti-imperialisme Soekarno. Meskipun di era Orde Baru mereka mendapat tempat lebih luas, kebebasan mereka tetap dibatasi.

Pemerintah mengawasi karya-karya mereka dengan ketat. Lagu-lagu yang dianggap terlalu liberal atau menyuarakan kebebasan harus melewati sensor. Pembatasan ini mencerminkan paranoia rezim terhadap ekspresi yang berpotensi membangkitkan kesadaran masyarakat. (Sumber: Historia, 2017)

3. Bimbo

Grup musik Bimbo juga mengalami pencekalan. Lagu mereka, Tante Sun, dianggap menyindir istri-istri pejabat pemerintah, meskipun liriknya hanya menggambarkan realitas sosial tanpa menyebut pihak tertentu. Namun, bagi penguasa, kritik sekecil apa pun harus dibungkam sebelum berkembang menjadi keresahan masyarakat.

Akibat tekanan tersebut, Bimbo mengalami kesulitan dalam mendistribusikan lagu-lagu mereka. Media massa dikendalikan agar lagu dengan kritik tajam tidak mendapat tempat. Namun, Bimbo tetap bertahan, membuktikan bahwa seni adalah senjata yang sulit dipadamkan. (Sumber: Kompas, 1992)

4. Elpamas

Band rock asal Jawa Timur ini juga menjadi korban sensor Orde Baru. Lagu mereka, Pak Tua, dianggap sebagai sindiran langsung terhadap Soeharto, yang enggan turun dari jabatannya meski telah berkuasa selama puluhan tahun. Akibatnya, lagu ini dilarang tayang di televisi nasional, dan upaya distribusinya pun dihambat.

Meskipun mendapatkan tekanan, Pak Tua tetap populer di kalangan rakyat. Lagu ini menjadi simbol perlawanan terhadap kepemimpinan otoriter. Upaya pemerintah untuk membungkam kritik melalui sensor justru menunjukkan betapa lemahnya demokrasi saat itu. (Sumber: Tempo, 1990)

5. Swami

Grup musik Swami, yang dipimpin oleh Iwan Fals, juga mengalami pencekalan. Lagu-lagu seperti Bongkar dan Hio dianggap terlalu kritis terhadap pemerintah. Lirik Bongkar yang menyuarakan ketidakadilan dan korupsi dipandang sebagai ancaman bagi stabilitas negara, sehingga sulit mendapat izin edar.

Pemerintah berupaya menekan Swami dengan membatasi distribusi album dan mengawasi konser mereka. Namun, lagu-lagu Swami tetap menjadi anthem perlawanan bagi masyarakat yang muak dengan sistem pemerintahan yang korup dan otoriter. (Sumber: Tempo, 1989)

Sejarah telah membuktikan bahwa sensor terhadap musisi bukanlah cara untuk menjaga ketertiban, melainkan strategi penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya. Dari Orde Baru hingga sekarang, musik tetap menjadi media perlawanan yang sulit dibungkam.

Kini, ketika band seperti Sukatani harus meminta maaf atas lirik lagu mereka, pertanyaannya adalah: apakah kita benar-benar hidup di era yang lebih bebas? Ataukah kita hanya mengalami pembungkaman dengan cara yang lebih halus? Seni seharusnya menjadi ruang ekspresi, bukan alat yang dikendalikan oleh ketakutan penguasa.

Penulis : Essa Alvira
Editor: Naila

Jajaran DEMA Mengulik Efisiensi Anggaran

0

Serang, lpmsigma.com – Dewan Eksekutif Mahasiswa Universitas (DEMA-U) mengadakan diskusi publik bertajuk “Dampak Efisiensi Anggaran bagi Dunia Pendidikan,” yang dihadiri oleh DEMA setiap Fakultas sebagai pembicara. Berlangsung di pelataran Fakultas Dakwah pada Jumat (21/02).

Muhammad Marjuki, Ketua DEMA-U, menuturkan bahwa efisiensi anggaran dalam dunia pendidikan membawa banyak dampak buruk. Salah satunya adalah meningkatnya angka putus kuliah. Bahkan sebelum adanya efisiensi, biaya perkuliahan yang tinggi sudah menjadi alasan banyak mahasiswa memilih berhenti kuliah karena beratnya beban Uang Kuliah Tunggal (UKT).

“Dengan adanya efisiensi ini, dapat menyebabkan banyak dampak negatif bagi pendidikan, salah satunya meningkatnya angka putus kuliah,” ungkap Marjuki dalam diskusi publik.

Ia juga menambahkan bahwa efisiensi anggaran bisa berdampak pada pemotongan dana beasiswa di UIN Banten.

“Hasil kajian yang saya lakukan semalam menunjukkan bahwa anggaran Kementerian Agama telah dipotong dari Rp34,4 triliun menjadi Rp11,4 triliun. Efisiensi ini juga menyebabkan anggaran pendidikan di UIN SMH Banten dipangkas sebesar Rp39 miliar. Selain itu, efisiensi ini berdampak pada pemotongan anggaran beasiswa sebesar 9%,” tambahnya.

Di tempat yang sama, Muhammad Anwar, Wakil Ketua DEMA Fakultas Ushuluddin dan Adab Periode 2025 sekaligus mantan Presiden Mahasiswa FKBM KIP-K UIN Banten Periode 2024, menyatakan bahwa efisiensi anggaran juga berimbas pada program beasiswa KIP Kuliah di UIN Banten.

“Dampak efisiensi yang paling mengejutkan adalah adanya isu bahwa beasiswa KIP Kuliah hampir ditiadakan untuk mahasiswa baru dan lama. Namun, hingga kini belum ada kejelasan resmi terkait hal tersebut,” ungkapnya.

Selain itu, ia juga menambahkan bahwa dampak besar dari efisiensi anggaran ini akan dirasakan dalam program beasiswa. Jika pada tahun 2024 kuota penerima beasiswa KIP Kuliah mencapai 450 orang, maka pada tahun 2025 jumlah penerima akan berkurang menjadi sekitar 320 orang.

“Hal yang sudah pasti terdampak dari efisiensi ini adalah pengurangan kuota penerimaan beasiswa KIP Kuliah di tahun 2025,” tutupnya.

Reporter: Nabel  
Editor: Enjat

HPSN, Saatnya Beraksi Bukan Sekedar Seremoni

0

Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) yang diperingati pada tanggal 21 Februari, menjadi momen yang penting bagi masyarakat Indonesia, untuk lebih menyadari betapa pentingnya pengelolaan sampah yang baik serta berkelanjutan. Peringatan ini lahir dari peristiwa tragis yang terjadi pada 21 Februari 2005, di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwigajah, Jawa Barat, ketika longsoran sampah menelan lebih dari seratus korban jiwa. Tragedi itu menjadi peringatan untuk pemerintah dan masyarakat bahwa pengelolaan sampah yang tidak tepat bisa berakibat fatal, tidak hanya bagi lingkungan tetapi juga bagi keselamatan manusia.

Dengan populasi yang lebih dari 270 juta jiwa, Indonesia menghasilkan sampah secara signifikan tiap harinya. Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukan bahwa, pada tahun 2020 indonesia menghasilkan sekitar 67,8 juta ton sampah per tahun dan kebanyakan berakhir di TPA tanpa adanya proses daur ulang yang memadai. Hal ini mengakibatkan berbagai masalah, seperti pencemaran lingkungan, emisi gas rumah kaca dan ancaman bagi kesehatan masyarakat akibat sampah yang tidak dikelola dengan baik.

Pengelolaan sampah di Indonesia dihadapkan dengan berbagai tantangan, termasuk rendahnya kesadaran yang dimiliki masyarakat, keterbatasan infrastruktur pengelolaan sampah dan implementasi regulasi yang masih kurang optimal. Sampah plastik menjadi isu utama, mengingat sifatnya yang sulit terurai dan berkontribusi terhadap pencemaran laut. Penelitian yang dilakukan oleh Aromi dalam jurnal.ecotas (2024) mengidentifikasi bahwa, pengelolaan sampah plastik di kota-kota Indonesia menghadapi tantangan lokal yang membutuhkan pendekatan partisipatif untuk mendapat solusi berkelanjutan.

Dalam peringatan HPSN, beragam kegiatan dilakukan sebagai pengingat bagi masyarakat agar sadar betapa pentingnya pengelolaan sampah yang lebih baik, kegiatan seperti aksi bersih-bersih lingkungan, kampanye penggunaan plastik sekali pakai, hingga program edukasi di sekolah-sekolah, menjadi bagian dari upaya pemerintah serta organisasi lingkungan dalam mengajak masyarakat agar lebih peduli terhadap sampah. Salah satu strategi yang terus digaungkan adalah penerapan prinsip 3R, yaitu Reduce (mengurangi), Reuse (menggunakan kembali), dan Recycle (mendaur ulang). Prinsip ini diterapkan dengan tujuan untuk mengurangi jumlah sampah yang dihasilkan, serta memastikan bahwa sampah yang ada dapat kembali dimanfaatkan secara maksimal.

Di beberapa kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya, sudah diterapkan program bank sampah yang memungkinkan masyarakat menukarkan sampah anorganik dengan intensif ekonomi. Program ini tidak hanya membantu mengurangi jumlah sampah yang berakhir di TPA, tetapi juga memberikan keuntungan ekonomi bagi masyarakat. Selain itu, beberapa tempat telah menerapkan kebijakan larangan menggunakan plastik sekali pakai, seperti di pusat perbelanjaan dan restoran, sebagai langkah nyata dalam mengurangi dampak pencemaran plastik.

Dalam penelitian Jurnal Universitas Pahlawan, beberapa sekolah di Indonesia sudah menerapkan kebijakan yang mewajibkan siswanya membawa kotak makan dan botol minum sendiri, sebagai upaya mengurangi penggunaan sampah plastik sekali pakai. Kebijakan ini bertujuan mengurangi sampah plastik dan meningkatkan kesadaran lingkungan di kalangan siswa. Dalam penelitian lain di Jurnal Neliti, beberapa minimarket dan supermarket telah menerapkan kebijakan yang mendorong setiap konsumen membawa tas belanja sendiri, seperti tote bag, untuk mengurangi penggunaan kantong plastik. Kebijakan ini bertujuan mengurangi volume sampah plastik yang dihasilkan dari aktivitas belanja sehari-hari.

Teknologi juga mempunyai peran penting dalam upaya pengelolaan sampah secara efektif. Saat ini, beragam inovasi seperti pengolahan sampah menjadi energi (waste to energy), pembuatan bioplastik dari bahan organik, hingga pemanfaatan kecerdasan buatan dalam memilah sampah secara otomatis mulai dikembangkan. Di beberapa negara maju, teknologi ini telah diterapkan secara luas dan terbukti dapat mengurangi volume sampah yang berakhir di TPA, Indonesia pun mulai mengadopsi berbagai teknologi tersebut guna meningkatkan efisiensi dalam pengelolaan sampah.

Selain peranan pemerintah dan teknologi, sektor swasta, serta masyarakat juga mengambil peranan yang sangat penting untuk mencapai pengelolaan sampah yang berkelanjutan. Kesadaran individu untuk memilah sampah dari rumah, mengurangi konsumsi plastik, serta mendukung produk ramah lingkungan bisa memberikan dampak besar dalam jangka panjang. Edukasi yang berkelanjutan serta kampanye yang lebih masif juga diperlukan untuk membangun budaya peduli lingkungan di kalangan masyarakat indonesia.

Peringatan Hari Peduli Sampah Nasional, seharusnya tidak hanya menjadi seremonial tahunan saja, tetapi juga menjadi momentum refleksi dan aksi yang nyata dalam mengelola sampah dengan lebih baik, dengan komitmen dan partisipasi dari seluruh elemen masyarakat, diharapkan Indonesia bisa mewujudkan sistem pengelolaan sampah yang lebih efektif, berkelanjutan, dan mempunyai dampak yang positif bagi lingkungan serta kesejahteraan masyarakat.

Penullis: Paiz
Editor: Lydia

“Ndasmu”: Ketika Bahasa Rakyat Lebih Jujur daripada Penguasa

0

Bahasa berkembang mengikuti zaman, tapi ada beberapa kata yang tetap abadi karena relevansinya yang tak lekang oleh waktu. Salah satunya adalah “ndasmu”. Kata ini berasal dari bahasa Jawa, terdiri dari ndas (kepala) dan -mu (kepunyaan), yang jika diterjemahkan secara harfiah berarti “kepalamu”. Namun, sebagaimana bahasa rakyat yang penuh lapisan makna, ndasmu bukan sekadar penyebutan organ tubuh. Kata ini telah berevolusi menjadi ungkapan sindiran, ketidakpercayaan, bahkan perlawanan terhadap sesuatu yang dianggap tidak masuk akal.

Dulu, kata “ndasmu” sering digunakan dalam percakapan sehari-hari untuk membalas omongan yang dianggap ngawur. Misalnya, jika ada seseorang yang bercerita terlalu berlebihan atau omong kosong, maka balasan paling sederhana adalah satu kata ini “ndasmu”. Artinya jelas jangan bercanda, omonganmu tidak masuk akal. Ini adalah bahasa rakyat, bahasa yang jujur, tanpa basa-basi, dan tanpa pencitraan.

Lalu, bagaimana jika kata “ndasmu” diucapkan oleh mereka yang berkuasa? Di sinilah ironi terjadi. Kata yang seharusnya muncul dari rakyat untuk membantah kebohongan justru keluar dari mulut mereka yang seharusnya memberi kejelasan. Seakan-akan, ketika kehabisan argumen yang meyakinkan, jawaban terbaik yang bisa diberikan adalah sapaan ala warung kopi. Ini bukan sekadar pelepasan emosi, tapi juga bentuk penghinaan terhadap intelektualitas publik. Ketika rakyat menuntut kejelasan, lalu dijawab dengan “ndasmu”, artinya ada yang salah dalam cara mereka yang berkuasa memandang rakyat.

Sejarah mencatat bahwa bahasa rakyat sering kali menjadi alat perlawanan. Di masa kolonial, ejekan terhadap penjajah muncul dalam bentuk istilah-istilah satir yang menggambarkan penindasan. Kini, dalam sistem yang katanya demokratis, rakyat masih menggunakan bahasa sebagai senjata terakhir. Bedanya, dulu bahasa ini diarahkan kepada penjajah, sekarang, sindiran itu diarahkan kepada mereka yang berdiri di atas podium, mengumbar janji, lalu memberikan jawaban yang lebih cocok untuk debat receh di pinggir jalan.

Tapi, rakyat tidak bodoh. Mereka tahu bahwa bahasa bisa menjadi alat yang ampuh untuk melawan absurditas. “Ndasmu” bukan sekadar kata, tapi juga simbol ketidakpercayaan. Ia akan terus diucapkan selama kebijakan dibuat tanpa logika, janji diberikan tanpa realisasi, dan kebohongan disebarkan tanpa rasa malu. Semakin sering kata ini muncul di ruang publik, semakin jelas bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan cara mereka berkomunikasi.

Jadi, kalau ada yang tersinggung dengan kata “ndasmu”, mungkin bukan kata itu yang jadi masalah, melainkan mengapa kata itu muncul dari rakyat. Karena pada akhirnya, bahasa selalu jujur. Tidak seperti pidato panjang yang berusaha menutupi kenyataan.

Penulis: Enjat

Ternyata Jari Manis Itu Ga Manis, Kenapa Sih Hal-Hal Kaya Gini Aja Mesti Boong?

0

Pernahkah kamu bertanya-tanya, mengapa jari keempat disebut jari manis? Padahal, jika dicicipi, jelas tidak ada rasa manisnya sama sekali. Nama ini ternyata tidak ada hubungannya dengan indera perasa, melainkan berasal dari makna estetika dan simbolik yang telah melekat selama berabad-abad.

Dalam budaya Indonesia, kata “manis” tidak selalu merujuk pada rasa, tetapi juga pada sesuatu yang indah dan bernilai. Sejak dahulu, jari keempat ini sering dihiasi dengan cincin, terutama dalam tradisi pernikahan, sehingga disebut “manis”.

Hal ini pun sejalan dengan berbagai budaya lain di dunia. Dalam bahasa Inggris, jari ini disebut ring finger karena memang menjadi tempat utama untuk mengenakan cincin. Sementara itu, dalam bahasa Latin, ia dikenal sebagai digitus annularis, yang berarti jari cincin. Bahkan, di Eropa pada abad pertengahan, jari ini pernah disebut leech finger karena diyakini memiliki hubungan dengan metode pengobatan tradisional menggunakan lintah.

Namun, yang paling menarik adalah mitos yang berkembang sejak zaman Romawi Kuno. Konon, terdapat pembuluh darah khusus bernama vena amoris “vena cinta” yang langsung terhubung ke jantung, menjadikannya simbol cinta dan komitmen.

Meskipun secara medis teori ini telah dibantah, karena semua jari memiliki sistem pembuluh darah yang sama serta kepercayaan ini tetap bertahan hingga kini. Bahkan, di beberapa budaya, mengenakan cincin di jari manis diyakini bisa memperkuat hubungan asmara dan membawa keberuntungan.

Selain nilai simbolik, jari manis juga memiliki makna dalam dunia sains. Penelitian menunjukkan bahwa panjang jari manis dibandingkan dengan jari telunjuk bisa mencerminkan kadar hormon seseorang saat masih dalam kandungan.

Dalam buku Digit Ratio: A Pointer to Fertility, Behavior, and Health 2002, John T. Manning menjelaskan bahwa rasio panjang jari manis dan jari telunjuk (2D:4D ratio) berhubungan dengan tingkat hormon prenatal yang memengaruhi berbagai aspek kehidupan seseorang.

Studi tersebut menemukan bahwa orang dengan jari manis lebih panjang daripada jari telunjuk, cenderung memiliki kadar testosteron yang lebih tinggi, yang berhubungan dengan kemampuan atletik dan pemikiran spasial. Sebaliknya, mereka yang memiliki jari telunjuk lebih panjang, cenderung memiliki kadar estrogen yang lebih dominan, yang berkaitan dengan empati dan keterampilan verbal yang lebih baik.

Selain mitos dan sains, jari manis juga memiliki tempat khusus dalam berbagai tradisi. Pada zaman kerajaan, hanya bangsawan tertentu yang boleh memakai cincin di jari manis sebagai tanda status sosial. Dalam beberapa aliran seni bela diri dan kepercayaan mistis, jari ini dipercaya menyimpan energi tertentu yang dapat digunakan dalam pengobatan tradisional. Bahkan, ada yang percaya bahwa bentuk dan panjang jari manis dapat memberi petunjuk tentang kepribadian seseorang.

Jadi, bukan berniat bohong, tetapi jari manis memang penuh dengan hal-hal manis dalam kehidupan dari cincin pernikahan, mitos cinta, hingga fakta unik soal hormon. Siapa sangka, satu jari kecil bisa menyimpan begitu banyak cerita?

Penulis: Naila
Editor: Lydia

Sekolah Pinggir Jalan: Ketika Pendidikan Tak Lagi Milik Kaum Berstatus

0

Serang, lpmsigma.com – Senin sore di sudut pinggir jalan Ciceri Kota Serang (17/02), sekelompok mahasiswa berkumpul dengan tumpukan buku, beberapa lembar kertas gambar, dan setumpuk baju bekas yang masih layak pakai. Mereka bukan sedang berdagang, bukan pula tengah mengerjakan tugas kampus. Mereka sedang menggelar Sekolah Pinggir Jalan (SPJ) Gratis, ruang belajar alternatif yang lahir dari keresahan mereka terhadap sistem pendidikan yang semakin elitis.

Adam, salah satu penggagas SPJ Gratis, tak ragu melontarkan kritiknya. Ia menilai bahwa sistem pendidikan saat ini hanya memprioritaskan mereka yang mampu secara ekonomi, seolah-olah kecerdasan dan kreativitas harus tunduk pada status sosial.

“Kami sudah capek menunggu perubahan dari pemerintah. Berapa kali demonstrasi, hasilnya nihil. Suara kami tak pernah didengar, jadi kami buat jalan sendiri: SPJ”, ungkap Adam.

SPJ bukan sekadar tempat membaca buku atau belajar mengeja. Di sini, anak-anak bisa bebas menggambar, berekspresi, bahkan memilih sendiri apa yang ingin mereka pelajari. Tak ada kurikulum baku, tak ada aturan kaku.

Jika ada yang lebih tertarik menggambar daripada membaca, mereka diberi ruang untuk itu. Selain itu, pakaian bekas yang masih layak juga disediakan untuk mereka yang membutuhkan.

“Sesuai minat anak-anak. Kalau ada yang suka menggambar, silakan. Kalau ingin membaca, kami sediakan buku. Kami cuma ingin mereka tetap belajar, tanpa harus dibatasi,” tambah Adam.

Ditempat yang sama, Sabil salah satu relawan lainnya, berharap anak-anak bisa terus tumbuh bersama mereka. Ia ingin SPJ menjadi tempat di mana mereka tak sekadar belajar, tetapi juga menemukan kesenangan dalam belajar, meskipun hal yang dipelajari terkesan sederhana.

“Yang penting mereka tetap belajar. Nggak perlu muluk-muluk, inginnya mereka belajar sesuai keinginan mereka meskipun sepele”, katanya.

Lebih jauh, Sabil menuturkan bahwa semua karya yang dihasilkan anak-anak di SPJ akan mereka kumpulkan. Suatu hari, ia berharap karya-karya itu bisa dipamerkan ke khalayak luas, sebagai bukti bahwa kreativitas tak butuh batasan, tak peduli di mana pun mereka belajar.

“Kami cuma sediakan wadah buat mereka berekspresi. Harapannya, karya mereka ini bisa kami pamerkan, entah di mana pun itu,” tutupnya.

Reporter: Najib