DPR RI dan pemerintah mendapat kritik tajam karena dianggap tergesa-gesa dalam membahas revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI). Pembahasan revisi ini dilakukan secara tertutup, sehingga menimbulkan banyak pertanyaan, terutama mengenai sumber anggaran yang digunakan. Hal ini menjadi sorotan, karena terjadi di tengah upaya pemerintah untuk melakukan efisiensi anggaran.
Keputusan untuk mempercepat pembahasan revisi ini menuai protes dari masyarakat sipil, terutama dari para pegiat reformasi sektor keamanan. Mereka khawatir revisi ini dapat membuka kembali peluang bagi TNI untuk menjalankan peran ganda dalam pemerintahan, yang dikenal sebagai Dwifungsi TNI.
Lalu, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Dwifungsi TNI? Mengapa hal ini menjadi polemik?
Menurut Mohammad Mohtar Mas’oed dalam bukunya yang berjudul “Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi (1990)”, Dwifungsi TNI adalah konsep yang memberikan peran ganda kepada Tentara Nasional Indonesia (TNI), yaitu sebagai alat pertahanan negara sekaligus memiliki peran dalam kehidupan sosial dan politik.
Konsep ini pernah diterapkan pada era Orde Baru, di mana TNI (saat itu ABRI) tidak hanya bertugas menjaga keamanan negara, tetapi juga aktif dalam pemerintahan, birokrasi, dan ekonomi. Namun, banyak pihak menilai bahwa dwifungsi ini berbahaya karena berpotensi merusak demokrasi dan supremasi sipil.
Konsep Dwifungsi TNI muncul pada masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Dwifungsi ini didasarkan pada doktrin bahwa militer memiliki tanggung jawab tidak hanya dalam bidang pertahanan, tetapi juga dalam pembangunan nasional. Dalam praktiknya, militer terlibat dalam berbagai sektor pemerintahan, dari tingkat pusat hingga daerah, termasuk mengisi posisi dalam legislatif dan eksekutif.
Dengan dalih stabilitas nasional, banyak jabatan politik dan administratif diisi oleh perwira militer aktif. Hal ini membuat TNI memiliki pengaruh besar dalam berbagai kebijakan, yang sering kali mengorbankan prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.
Mengapa Dwifungsi TNI Disebut Berbahaya?
Konsep dwifungsi ini dinilai berbahaya karena beberapa alasan berikut:
1. Melemahkan Supremasi Sipil
Dalam sistem demokrasi, militer seharusnya berada di bawah kendali pemerintahan sipil. Namun, dengan adanya dwifungsi, militer justru memiliki kekuatan politik yang besar, sehingga melemahkan kontrol sipil terhadap angkatan bersenjata.
2. Pelanggaran HAM dan Otoritarianisme
Ketika militer memiliki peran dalam politik, mereka cenderung menggunakan pendekatan keamanan untuk menyelesaikan masalah sosial dan politik. Pada masa Orde Baru, hal ini menyebabkan banyak kasus pelanggaran HAM, seperti penculikan aktivis, represi terhadap kebebasan berpendapat, dan tindakan kekerasan terhadap masyarakat sipil.
3. Korupsi dan Penyalahgunaan Kekuasaan
Keterlibatan militer dalam birokrasi dan bisnis negara membuka peluang korupsi. Banyak perusahaan dan badan usaha yang dikendalikan oleh militer, yang sering kali beroperasi tanpa transparansi dan akuntabilitas yang memadai.
4. Menghambat Reformasi Demokrasi
Setelah reformasi 1998, salah satu agenda utama adalah menghapus dwifungsi TNI untuk memastikan demokrasi berjalan dengan baik. Namun, jika konsep ini kembali diterapkan, maka hal itu bisa menghambat kemajuan demokrasi dan membawa Indonesia kembali ke era otoritarianisme.
Sejak reformasi 1998, peran TNI dalam politik mulai dibatasi. TNI tidak lagi memiliki perwakilan di DPR, dan militer dilarang terlibat dalam urusan politik praktis. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, muncul kekhawatiran bahwa militer kembali dilibatkan dalam sektor-sektor sipil, seperti jabatan di kementerian dan pemerintahan daerah.
Beberapa kebijakan yang memberi ruang lebih besar bagi TNI di luar bidang pertahanan dianggap sebagai bentuk “dwifungsi gaya baru”. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa TNI akan kembali berperan dalam ranah sipil seperti pada era Orde Baru.
Dwifungsi TNI memang pernah menjadi bagian dari sejarah politik Indonesia, tetapi konsep ini dianggap berbahaya karena dapat merusak demokrasi, melemahkan supremasi sipil, dan meningkatkan risiko penyalahgunaan kekuasaan. Reformasi telah menghapus peran politik militer, dan seharusnya hal ini tetap dijaga agar Indonesia tetap berada di jalur demokrasi yang sehat.
Jika militer kembali diberi peran di luar bidang pertahanan, kita perlu waspada agar tidak mengulangi kesalahan masa lalu. Demokrasi yang sehat membutuhkan pemisahan yang jelas antara militer dan pemerintahan sipil, demi memastikan kebebasan, keadilan, dan supremasi hukum tetap terjaga.
Penulis: Frida
Editor: Lydia