Beranda blog Halaman 119

UIN SMH Banten Batasi Aktifitas Pelayanan Perpustakaan.

0

Serang, lpmsigma.com | Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Maulana Hasanuddin Banten memberlakukan pembatasan di sektor pelayanan perpustakaan. pembatasan ini dilakukan guna mengurangi resiko penularan Covid-19. (03/11)

Staf perpustakaan UIN SMH Banten Imam, mengatakan, pembatasan perpustakaan ini direkomendasikan oleh pihak kampus dimulai sejak bulan Juni lalu sampai pandemi berakhir.

“Sebenarnya perpustakaan UIN SMH Banten ini dibuka, tetapi pelayanannya terbatas terutama untuk peminjaman buku dan hanya melayani pengembalian buku, pembuatan bebas pustaka serta pemberian skripsi,” ujarnya.

Salah satu mahasiswa jurusan Ekonomi Syariah, Usep mengaku merasa kesulitan dengan adanya pembatasan di perpustakaan ini terutama untuk peminjaman buku.

“Sudah semester tujuh, mau nyusun skripsi, mau minjem buku jadi susah, terkecuali perpustakaan ini memberi fasilitas online, tapi agak susah juga sih karena akan banyak kendalanya seperti kuota, jaringan dan lain-lain,” ujar Usep mahasiswa semester 7, saat di wawancarai oleh kru SiGMA.

Selain itu, Usep berharap semoga perpustakaan tetap dibuka seperti biasa dengan mematuhi protokol kesehatan.

“Kedepannya cepet dibuka seperti biasa, tapi tetap pakai protokol kesehatan aja,” ujar Usep.

(Mg. Zara-ii/Yusti/SiGMA)

Luput dari Renovasi, Toilet UKM Terbengkalai

0

Serang, lpmsigma.com | Usai merenovasi atap Masjid Kampus, UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten kembali memperbaiki gedung Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Kepala Sub Bagian Rumah Tangga dan Barang Milik Negara Teguh Santoso, menuturkan, proyeksi renovasi gedung diperkirakan memakan waktu hingga satu bulan.
“Perkiraan akhir bulan November sudah selasi,” tuturnya.

.

Berdasarkan pantauan lpmsigma.com, terlihat progres dalam pembangunan gedung dan fasilitas kampus kini semakin membaik. Namun berbeda saat melihat bangunan toilet yang terletak di samping UKM.

Setidaknya ada empat ruang toilet dengan kondisi tidak terawat.
Dalam hal ini Teguh Santosa menuturkan, untuk sekarang hanya memperbaiki bagian atap gedung UKM dahulu.

“Hanya atap gedung yang di renovasi,” tutur Teguh kepada kru magang LPM SiGMA.

Salah satu mahasiswa Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam Faisal marasa kurang nyaman ketika menggunakan toilet tersebut.
“Kurang nyaman, karena air yang kurang bersih dan keran air yang tidak berfungsi,” ungkap Faisal

Senada dengan Faisal, Ketua Forum Silaturahmi Unit Kegiatan Mahasiswa (FSU), Inayatullah atau biasa akrab disapa Fiktor menuturkan, perlu adanya renovasi toilet, karena toilet itu merupakan suatu kebutuhan dan cerminan dari lingkungan hidup yang sehat.

“Toilet UKM sudah rusak dan terbengkalai, perlu adanya renovasi. karena toilet itu merupakan salah satu kebutuhan mahasiswa,” ucap Inayatullah.

Ia juga menjelaskan, adanya toilet di UKM ini memang merupakan fasilitas penting yang disediakan oleh pihak kampus tetapi adanya fasilitas tersebut tidak ditunjang dengan baik. sehingga toilet yang sudah disediakan oleh kampus tidak dapat terpakai dengan seutuhnya karena keadaanya yang sudah tidak layak pakai.

“Fasilitas disediakan tapi tidak ditunjang dengan fasilitas yang baik, itu yang membuat anak UKM tidak memakai toilet itu,” ujarnya.

Selain itu, Fiktor juga menyayangkan sikap pihak lembaga yang kurang responsif terhadap kondisi toilet mahasiswa, khususnya toilet yang ada di UKM.

“Itu hal yg urgen, harus di renovasi karena kebutuhan dasar manusia, untuk anggaran ada atau tidak menurut saya itu tidak membutuhkan anggaran yang banyak. Untuk keseluruhan kampus UIN ini memang kurang dalam fasilitas toilet. Disitu ada tanggung jawab dari rektorat dengan merawat secara berkala yang membuat toilet itu bisa dipakai dengan baik,” ucap Fiktor.

(Febi-Syifa/Dani/SiGMA)

Menjadi Minoritas di Tengah Mayoritas

0

“Tataran pergaulan antara para tokoh berbagai macam agama di Banten sangatlah baik.”
Kalimat itu terucap oleh Romo Toto Nubertus Trisapto saat membuka pembicaraan mengenai keberagaman.
Ini merupakan kali pertama saya mengikuti pelatihan Serikat Jurnalisme Keberagaman (SEJUK), dan dilakukan berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Tahun ini pelatihan dilaksanakan secara online, dan kita bertemu virtual melalui Zoom Meeting.
Begitu pula dengan para narasumber, kami bertegur sapa dan berbincang dengan memanfaatkan teknologi digital, ada yang menggunakan handphone, laptop ataupun PC (personal computer).
Romo Toto sebagai narasumber pada testimoni sesi Katolik mengatakan bahwa mengenai agama minoritas yang berada dilingkungan mayoritas Muslim, tidak membuatnya merasa terkucil atau mendapati sindiran. Justru yang ia rasakan adalah sebaliknya, ia mendapatkan teman ngobrol dan teman makan dengan beragam agama, dan itu sangatlah menyenangkan.
“Jika sudah makan dan ngobrol bareng, kita tidak lagi menyinggung soal agama,” ujar bapak berusia 51 tahun ini sambil mengangkat kedua sudut bibir, tersenyum di depan kamera.
Namun Romo Toto menambahkan, tentu bukan menjadi hal yang tak mungkin jika timbul masalah antar agama. Masalah memang selalu ada di berbagai aspek manapun, apalagi terkait agama yang sensitif jika dipersoalkan. Berbicara melalui mikrofon handphone, Romo Toto menjelaskan bagaimana mengatasi masalah yang sering timbul.
“Masalah memang pasti ada, tapi selalu dapat diselesaikan. (Menyelesaikannya) harus dengan kata bijak, jangan pakai emosi,” katanya.
Sejauh yang ia alami, kalaupun ada masalah tidak sampai terjadi meruncing ke ranah pribadi.
Romo Toto juga bercerita bagaimana kehidupannya pada saat remaja, menjadi mahasiswa yang bertempat tinggal menyewa tempat tinggal bersama teman beragamnya. Ia mengaku bahwa tidak pernah mempunya kamar kontrakan sendiri, paling sedikitnya berdua, dan selalu mendapatkan teman kamar dari umat Islam.
“Saya sering sekali dapet roommate itu dari Muslim. Pernah dapat dari umat Kristen dan Budha hanya sekali saja, selebihnya selalu dapet orang Muslim,” ucap Toto kepada para peserta dalam Zoom Meeting yang masih setia dan antusias mendengarkan.
Hidup bersama ragam agama, jelas Romo Toto, tidak menjadi masalah selama saling toleransi dan tidak membuat merasa terganggu satu sama lain.
Masih dalam room Zoom, saat ditanya mengenai apa penyebab susahnya membangun rumah ibadah bagi Umat Katolik, ia menjawab bahwa ini adalah masalah yang kolot, dan belum terpecahkan bahkan sejak ia belum lahir.
“Karena ini masalah bukan hanya masalah agama, ini bisa disebut masalah politik, masalah kebudayaan, ataupun kependudukan. Jadi, menurut saya ini adalah hal yang akan memakan waktu lama untuk diselesaikan. Karena ini jauh kepada pemahaman yang mengendap di masyarakat itu sendiri,” jelasnya.
Di akhir, Romo Toto berpesan kepada semua umat untuk tetap Teguh kepada kepercayaannya masing-masing, akan tetapi tetap harus membuka mata untuk tetap saling tolerir.
“Anda harus mempunyai Iman yang kuat dengan apa yang Anda yakini, tetapi janganlah menutup hati dan pikiran Anda dari kebaikan-kebaikan yang ada di luar Anda,” pungkasnya saat memberikan closing statement.

Seperti Pelangi, Perbedaan Itu Indah
Bukan keberagaman namanya jika dalam pelatihan ini kami hanya membicarakan dari satu sisi agama saja. Pendeta Rusman Anita Sitorus yang merupakan istri dari Pendeta Markus Taeksz juga menjadi narasumber dalam pelatihan kami. Ia mengungkapkan perasaannya bagaimana ia hidup dengan beragam agama di wilayah Carita, Banten.
Ia mengaku diterima dengan baik oleh warga sekitar dan tidak pernah mengalami perselisihan. Kalaupun ada, paling hanya sekedar menanyakan perizinan yang sah saja terkait kependudukannya sebagai masyarakat wilayah Carita.
“Walaupun berbeda, kami tetap merasa bahwa kami diterima. Kami bisa menjadi saudara untuk mereka tanpa melihat perbedaan,” ujar Ibu Rusman Anita Sitous, istri Pendeta Markus saat diwawancarai via WhatsApp. Ia menjawabnya melalui voice note dengan nada yang sangat ramah, dan membuat saya merasa disambut dengan baik atas pertanyaan yang saya ajukan.
Ibu Anita yang juga akrab dipanggil dengan sebutan Ibu Markus juga berbagi pengalaman bagaimana ia membangun tali persaudaraan dan kerukunan dengan warga sekitar. Yaitu dengan cara membuka diri agar bisa menerima mereka (umat agama lain) apa adanya, dan begitupun sebaliknya.
“Melakukan kegiatan sosial juga kami lakukan, seperti contoh sederhananya suami saya melakukan kegiatan ronda malam, saya ikut bergotong royong, dan mengikuti kegiatan sosial lainnya,” jelasnya.
Melalui aplikasi pengirim pesan (WhatsApp), Istri dari suami berumur 61 tahun ini juga berpesan kepada anak muda zaman sekarang agar jangan alergi terhadap keberagaman. Baik itu suku, budaya, agama, bahasa, maupun ras yang ada di Indonesia.
Bahkan menurutnya, dengan adanya keberagama ini bisa menambah wawasan lebih luas lagi, bisa mempelajari kebudayaan masing-masing kepercayaannya, memperbanyak relasi dari bermacam suku, dan banyak manfaat lainnya ketika bisa hidup ditengah-tengah beragam macam umat di wilayah sekitar.
“Jadi untuk anak-anak muda, jangan pernah alergi terhadap perbedaan. Karena perbedaan itu indah. Contohnya seperti Pelangi, ada banyak macam warna, begitu indahnya jika dipandang,” tutupnya dengan suara yang jika saya melihatnya ia menutup pembicaraan dengan diakhiri senyuman.
Terkait kerukunan beragam agama di wilayan Banten ini, saya kembali mengutip pernyataan FKUB Lebak dari berita online dari Republika.co.id, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Lebak menjamin  kerukunan umat beragama di Kabupaten Lebak, Banten berjalan baik dan kondusif.
“Kami hingga kini terus menjaga dan melestarikan kerukunan umat beragama dengan penuh kedamaian,” kata Sekretaris Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Lebak, KH Akhmad Khudori, di Lebak, Ahad (9/1/20).
Bebas Memilih, Tetap Saling Menghormati
Jika sebelumnya kita sudah mengetahui bagaimana rasanya minoritas hidup ditengah-tengah mayoritas dari sudut pandang umat Katolik dan Protestan, kali ini datang dari sudut pandang Umat Buddha yang berada di wilayah Labuan, Banten. Dalam hal ini, saya menghubungi Romo Pandita Sumedho untuk menjadi narasumber.
Sepanjang hidup di Labuan, kata Romo Pandita, ia tidak pernah mengalami masalah dengan umat Muslim di daerah sekitar. Justru yang ia rasakan adalah rasa harmonis dan kebersamaaan yang dimiliki, tidak pernah ada benturan antar mereka.
Romo Pandita juga sempat sedikit bercerita, bahwa ia pernah mempunyai pengalaman mengantar teman Muslim yang terkena musibah ke Rumah Sakit.
“Pernah salah satu teman (muslim) kami sakit, lalu kami mengantarnya ke RSUD Pandeglang. Kami juga menggalang dana untuk bantuan pengobatannya,” tulis Romo Pandita melalui pesan WhatsApp, Senin, (19/10).
Tergambar oleh saya dari pesan yang disampaikan, Romo Pandita adalah orang yang sangat ramah jika kita bisa berbicara langsung dengannya. Disetiap pesan yang ia kirim, selalu menyebut nama saya didalamnya, yang menurut saya itu adalah suatu perilaku yang ramah terhadap lawan bicara.
Menurutnya, sepanjang kita menaati peraturan dan menghormati budaya setempat, apapun keyakinannya itu tidak menjadi masalah. Karena dalam memilih agama, itu adalah suatu kebebasan yang tidak bisa dipaksakan (menurut umat Buddhis). Bahkan, kata Romo Pandita, jika umat Buddha ingin berpindah agama pun itu dipersilahkan.
Terakhir, ia menyampaikan bahwa dalam perbedaan (keberagaman agama) yang indah ini, jangan jadikan dinding pemisah antara umat satu dengan yang lain. Tetaplah saling menghormati dan menghargai setiap keyakinan manusia.
“Perbedaan itu indah, maka jangan jadikan perbedaan itu menjadi dinding pemisah diantara kita (umat beragam). Oleh sebab itu, hargai dan hormati keyakinan orang lain,” tutup Romo Pandita pada pesan teks tersebut.
(Ifaz/SiGMA)


Tulisan ini bagian dari program Workshop Pers Mahasiswa yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) kerja sama dengan Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit (FNF) dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Apa Salahnya Berbeda?

0

Oleh: Nada Khovia

“Kok, di agama kamu salib di sembah-sembah?”

Itulah bentuk kalimat yang kerap dilontarkan kepada gadis berkulit hitam, Lia (bukan nama sebenarnya) adalah seorang siswi di salah satu SMA negeri di Pandeglang. Baginya menyesuaikan diri sebagai minoritas di sana sangat sulit. Tak jarang ia menerima pertanyaan atau omongan yang melukai hatinya.

“Seringkali menganggap agama lain itu salah serta menuduh saya dan agama saya adalah kafir,” ceritanya.
Bagi Lia pertanyaan yang kerap menyudutkan dirinya juga diterima dari teman-teman di sekolahnya. Ia sering menjadi pusat perhatian karena berbeda sendiri. Ia tidak mengenakan jilbab. Apalagi teman-teman sekolahnya saat itu belum mengenal agama yang dianutnya.
Berbaur dengan masyarakat yang memiliki rasa fanatik yang tinggi, tentu bukan hal yang mudah dalam melakukan berbagai aktivitas sosial. Bahkan berbagai bentuk diskriminasi sering kali ia dapatkan di lingkungan pendidikan.
“Ya, mereka anggap agama mereka yang benar. Saya sering disuruh masuk Islam,” kenang Lia.
Joseph (bukan nama sebenarnya) yang akrab dipanggil dengan nama Jo, juga mengalami hal yang tidak berbeda jauh dengan Lia. Sebagai minoritas dari kelompok masyarakat yang belum terbuka dengan perbedaan, Jo kerap menerima perlakuan berbeda karena agamanya berbeda dengan kebanyakan tetangganya.
Pernah suatu kali rumah Jo dilempari ampas tahu oleh masyarakat sekitar. Sering juga ia menerima lelucon terhadap agama dan Tuhan yang ia yakini. “Saya sedih, gak bisa lupa kejadian itu,” ujarnya.
Penolakan yang dialami oleh Lia dan Jo mungkin tak pernah dirasakan oleh Ustadz Ahmad (bukan nama sebenarnya). Terlahir sebagai mayoritas di tanah Pandeglang menjadikan dirinya sebagai orang yang menolak keberadaan agama lain selain agama yang diyakininya. Ia tak pernah membayangkan akan hidup bertetangga dengan orang berbeda agama.
“Saya menolak keras ada agama selain Islam masuk lingkungan ini. Apalagi ada gereja di Pandeglang, saya menolak,” tegasnya.

Selain hidup bertetangga ia juga menolak adanya bangunan rumah ibadah lain berdiri termasuk symbol apapun dari rumah ibadah agama lain. Hal ini dikarenakan ia tidak sepakat ada orang berbeda keyakinan.
“Barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka kita sama seperti kaum tersebut. Kalo kita mendukung masyarakat selain islam, ya sama aja kita memihak mereka. Gak akan ridho sampe kapanpun, kecuali mereka ikut kepada kita,” jelasnya kembali.
Sulitnya IMB untuk Rumah Ibadah
Pendeta Markus Taekz, Pendeta Gembala Sidang di Gereja Pantekosta Rahmat Carita Banten berangkat dari NTT ke Carita pada 1986. Mendirikan gereja dan hingga kini menetap di sana bersama istrinya, Rusman Anita Sitorus.
Gereja yang menjadi rumah ibadah bagi mereka berdua dan puluhan jemaat gereja lainnya masih terkendala izin mendirikan bangunan (IMB) hingga hari ini. Meskipun rumah ibadah itu sudah mendapatkan izin dari Binmas Kristen Kanwil Agama Jawa Barat. Menurut Pendeta Markus, pemerintah Kabupaten Pandeglang sebenarnya mengetahui keberadaan mereka, umat Kristiani. Hanya belum ada kebijakan resmi dari pemerintah terkait IMB rumah ibadah mereka.
“Pemerintah menerima keberadaan kami, hanya saja secara resmi tidak berani mengeluarkan izin atau melegalkan untuk pembangunan gereja karena berbagai tekanan,” paparnya.
Hingga kini Pendeta Markus dan pihak gereja Pantekosta Rahmat Carita terus melakukan mediasi dengan pemerintah untuk mendapatkan izin resmi. Mereka sudah pernah mengajukan perizinan sesuai prosedur namun belum membuahkan hasil.
Kini mereka terkendala Peraturan Bersama (Perber) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 8 dan 9 tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah.
Hal ini dibenarkan oleh Ketua FKUB Pandeglang Entis Sutisna saat dikonfirmasi izin Gereja Pantekosta Rahmat Carita. Disampaikannya bahwa diperlukan 90 jemaat rumah ibadah dengan KTP setempat; dan persetujuan 60 orang warga sekitar rumah ibadah yang ditunjukkan dengan KTP untuk memproses pemberian izin rumah ibadah.
Namun kurangnya jumlah jemaat yang kebanyakan berasal dari luar wilayah rumah ibadah menjadi kendala. “Dalam pemenuhan jumlahnya tidak diperbolehkan mendatangkan jemaat dari luar desa, kecamatan, dan luar kabupaten,” tegasnya.
Entis sampaikan hingga kini FKUB Pandeglang belum pernah menerima usulan pendirian rumah ibadah selain Masjid.
Melihat sulitnya proses perizinan yang dialami, Pendeta Markus tetap berupaya agar izin diberikan. “Kalau sekarang kendalanya peraturanya 2 menteri itu, sementara kita ada sebelum peraturan itu ada, sejak 1986. Tapi kita akan coba melalui pengacara kita, yang penting kami sudah berusaha dan yang terpenting kami tetap bebas Ibadah aja,” sahutnya.
Pun hingga kini Pendeta Markus, ibu Anita dan jemaat gereja lainnya tetap berupaya agar dapat membaur dengan masyarakat sekitar. Membantu fasilitas penunjang masyarakat dengan pembuatan WC, berdonasi buku-buku untuk pesantren juga mereka lakukan.
“Itu cara kami menyesuaikan diri agar diterima oleh masyarakat, dengan membantu satu sama lain dan saling mendukung,” ujar Anita.
Disampaikan Entis bahwa hingga sekarang rumah ibadah non muslim yg ada data di FKUB ada 3 yakni; Labuan greja katolik, vihara budha 1 dan Carita 1 buah rumah ibadah sementara jemaat kristen protestan yg dipimpin pendeta Markus. Itu semua masih bersifat sementara, dan kalau ada rumah ibadah selain dari 3 (tiga) data di atas, seharusnya tidak boleh melakukan peribadatan.
Sementara itu, Deputy Director Human Rights Working Group (HRWG) Daniel Awigra tidak sepakat terhadap penyebutan pemberian izin rumah ibadah. Menurutnya hal itu malah memperumit masyarakat minoritas di suatu daerah. Karena artinya untuk menunjukkan ekspresi keagamaan dengan mendirikan rumah ibadah, suatu kelompok agama membutuhkan persetujuan dari kelompok masyarakat agama lain.
Bagi Awigra harusnya tugas Negara dalam melindungi dan memenuhi hak setiap warha Negara terutama hak untuk merasa aman saat beribadah. “Saat diserahkan kepada warga sekitar dan kemudian mempersulit agama lain, di sinilah tugasnya negara untuk memfasilitasi,” sambungnya.
Terlepas dari kondisi kehidupan bermasyarakat di Pandeglang, Jo tak banyak berharap. Ia hanya ingin agar masyarakat di Kota Pandeglang dapat lebih paham dan menghargai perbedaan agama. Juga agar lebih menghormati masyarakat lain untuk beribadah sekalipun berbeda agama.
Anita sendiri menekankan agar pemerintah lebih transparan terkait data umat agama Kristen di Pandeglang. Data yang ada di Badan Pusat Statistik (BPS) Pandeglang menyebutkan umat Kristen di Pandeglang hanya 53 orang, nyatanya ada lebih dari 2000 KK yang bermukim di sana. Data yang tidak sesuai dengan yang ada di lapangan akan menyebabkan misinformasi dan kesalahan persepsi. Seperti kebutuhan akan rumah ibadah yang memadai.
“Saya ingin Pandeglang lebih toleran dan terbuka untuk perubahan, terutama perkembangan masyarakat. Serta harus mau mengakui keberadaan umat agama lain yang ada di Pandeglang,” harapnya.


Tulisan ini bagian dari program Workshop Pers Mahasiswa yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) kerja sama dengan Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit (FNF) dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Pringati HUT RI, UKM Gesbica ajak Masyarakat Jaga Warisan Leluhur Lewat Film Indone Siaus

0
Pringati HUT RI, UKM Gesbica ajak Masyarakat Jaga Warisan Leluhur Lewat Film Indone Siaus

Serang, redaksigma.com| Dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia (RI) yang ke-75 Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Gesbica UIN Banten sambut dengan peluncuran sebuah karya film baru.

Karya film berjudul “Indone Siaus” ini disutradarai oleh Rohman Ilhami yang juga selaku Ketua Umum UKM Gesbica.

“Kita berbicara tentang kemerdekaan bahwa kemerdekaan adalah warisan dari leluhur kita dan kita harus merawatnya menjalani hidup untuk menghidupi,” jelas Rohman Ilhami, Senin, (17/08)

Selain untuk memperingati Hari Kemerdekaan, film yang berdurasi delapan menit ini menyajikan unsur kesenian dan kebudayaan Banten serta pesan moral yang diperuntukan kepada pemuda-pemudi Indonesia dalam memaknai hakikat sebuah kemerdekaan.

“Menjaga persatuan, menjaga alam, dan keberagaman yang harus dihangatkan, bukan untuk saling membakar,” tuturnya

Salah satu hal menarik dalam film tersebut ialah menyajikan sebuah tarian dan tampilan benteng Speelwijk yang merupakan seni dan budaya Provinsi Banten, menambah kesan bagi penonton.

“Ada juga yang kita angkat yakni tarian dan benteng Speelwijk Banten yang filosofinya adalah lekuk tarian dan kokohnya benteng adalah simbol bahwa budaya adalah benteng bagi identitas bangsa yang jika tidak dijaga maka akan tergerus kemajuan dunia sama halnya dengan kemerdekaan,” jelasnya.

Selain itu, sosok petani dan nelayanpun turut andil dalam film pendek ini yang memberikan pesan dalam memaknai kehidupan.

“Sosok petani dan nelayan yang kita libatkan itu sebagai bentuk dari jiwa yang hidup untuk menghidupi, sampai saat ini kita bisa bertahan hidup mungkin itu alasannya petani dan nelayan menyamapikan pesan bahwa alam Indonesia itu kaya,” tambahnya.

Selanjutnya ia berharap bangsa Indonesia bisa merdeka dalam hal apapun, karena kemerdekaan bukan milik pribadi tapi milik semua insan. [Nada/Agan/SiGMA]

Menilik Umat-umat yang Terlupakan

0
Menilik Umat-umat yang Terlupakan

Oleh: Dani Mukarom

“Empat atau lima tahun yang lalu, saya lupa, kami pernah diusir tanpa penjelasan saat ibadah Natal oleh salah satu ormas di Banten”

Pengalaman pahit ditentang dan dihinakan atas apa yang diyakini Andreas oleh sekelompok warga yang memaksakan kehendak dan kebenarannya dengan ancaman ini sangat membekas buatnya. Padahal Natal itu dirayakannya di sebuah hotel di Anyer bersama gereja tempatnya bersekutu dalam doa.

“Yang saya inget mereka berbicara memakai bahasa Sunda, ‘Lamun masih dilanjutkeun berarti ngajak perang’ (Kalau masih dilanjutkan berarti mengajak perang),” ungkap Andreas sambil menirukan logat sundanya.

Andreas yang kini berusia 21 tahun sangat menyayangkan kejadian tersebut, yang sampai hari ini pun organisasi masyarakat (ormas) yang melakukan pembubaran dan pengusiran ibadah Natal itu tetap dibiarkan pemerintah setempat. Menjadi warga negara beragama Kristen di Indonesia, terutama di Anyer, daerah wisata di Serang, yang mayoritas warganya beragama Islam, dirasakan Andreas tidak sepenuhnya bebas untuk menjalankan ibadah dan bergereja sesuai imannya.

Ia juga mengaku terkendala saat beribadah rutin di hari Minggu. Gerejanya harus menyewa hotel di Anyer dan Carita. Tetapi, tidak sedikit hotel yang tidak mau menyewakan kepada gereja untuk ibadah karena takut akan mendapat ancaman atau masalah lainnya dari ormas.

“Untuk beribadah kami biasanya menyewa hotel di sekitaran Carita. Itu pun kadang tidak diizinkan oleh pihak hotelnya,” ujar Andreas dengan nada lirih.

Tidak sampai di situ, pria yang pernah mengenyam pendidikan SMA di Kecamatan Anyer ini bahkan mengaku sering menjadi korban bullying teman sebayanya di sekolah, karena teman-temannya tahu agama yang diyakini Andreas berbeda dari yang dianut masyarakat Banten. Kendati begitu, Andreas mengambil sisi positifnya, karena dari “pelecehan” itu dirinya bisa saling mengenal satu sama lain, berteman, lewat cara yang sungguh membuatnya prihatin.

“Di SMA saya sering sekali dijadikan bahan ejekan teman,” demikian pengakuan Andreas saat diwawancara oleh kru SiGMA (24/10).

Bukan tanpa Upaya, Toleransi selalu Dibangun

Tantangan kehidupan beragama di Banten, provinsi ujung barat Pulau Jawa yang berdampingan dengan ibukota Indonesia, adalah jalan panjang yang harus terus diusahakan banyak pihak. Hal ini disampaikan wakil ketua Badan Kerja sama Antar Gereja Kabupaten Lebak Toto Nurbertus Trisapto.

“Kita harus bisa menjadi masyarakat yang dewasa dan bijak. Hanya kerendahan hati dan keterbukaanlah yang menjadikan kita bijaksana,” tutur lelaki kelahiran Rangkasbitung 1969 lalu yang akrab disapa Romo Toto, meskipun dirinya bukan rohaniawan Katolik yang menempuh sekolah teologi.

Ikhtiar membangun kerukunan umat beragama tersebut sewajarnya berjalan mulus. Bagi Toto, masyarakat Banten dapat menerima kehadiran umat Katolik dan Kristen di wilayahnya. Meski demikian, tidak semua wilayah Banten dapat menerima dengan baik keberadaan warga non-Muslim.

Ada suasana yang mengharukan kala pertemuan lintas umat beragama di workshop yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) secara online Minggu (18/10). Selain perwakilan Katolik, dihadirkan juga dalam sesi testimoni workshop dari Kristen yang diwakili Gereja Pantekosta Rahmat Carita, Buddha dari Vihara Dhamma Ratana Labuan, dan satu aktivis dan pendamping isu perempuan dan kekerasan seksual An Nisaa Yovani.

Dalam kesempatan tersebut “Romo” Toto yang juga anggota Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Lebak perwakilan gereja Katolik mencoba menyingkirkan kekhawatiran para peserta workshop SEJUK ihwal intoleransi umat beragama di Banten. Toto dan sejumlah jemaat lainnya lebih menatap ke depan dengan terus berupaya membangun kehidupan harmoni dan toleransi umat beragama di Banten.

Toto menuturkan, kehadiran gereja di Banten terbilang sudah lama dan tidak hanya menjadi organisasi kerohanian umat Katolik. Dalam perkembangannya, gereja juga sudah banyak berkontribusi dan selalu berupaya membangun kehidupan harmoni melalui bingkai toleransi dalam kehidupan bernegara. Ia menjelaskan, upaya tersebut dimulai melalui beberapa pergerakan progresif di sektor pendidikan, ekonomi, dan bidang kesehatan.

“Dalam perkembangannya gereja tidak hanya melayani kegiatan rohani. Saat itu (awalnya) gereja menilai kondisi Banten sangat buruk. Lalu (gereja) mendirikan sarana pendidikan dan kesehatan untuk pribumi,” kisah Toto tentang awal mula kehadiran gereja Katolik dan aksi-aksi sosial kemanusiaan yang terus berkembang hingga saat ini.

Peliknya Pendirian Rumah Ibadah

Di Carita, sudut Banten lainnya, Rusman Anita Sitorus, salah satu pengurus gereja Pantekosta menceritakan persoalan yang tengah dialami umat Kristen di daerahnya. Ia menuturkan ada banyak jemaat yang sulit mendapatkan akses untuk beribadah.

Fakta tersebut merupakan implikasi dari sulitnya perizinan mendirikan rumah ibadah di lingkungannya. Selain itu, himbauan pemerintah setempat yang melarang pengurus untuk memasang symbol-simbol atau penanda gereja di depan rumah ibadah pun ikut serta mempersulit akses informasi rumah ibadah di wilayahnya.

Rumah ibadah merupakan salah satu identitas dan tempat yang sangat sakral bagi pemeluk agama untuk mengabdikan dirinya kepata Tuhan. Di Indonesia sendiri pendirian rumah ibadah telah diatur melalui Peraturan Bersama Menteri (PBM) No 9 dan No 8 Tahun 2006. Isinya terkait persyaratan apa saja yang harus dipenuhi sebelum mendirikan rumah ibadah. Disebutkan dalam Pasal 14 ayat 2, pendirian rumah ibadah harus mendapatkan dukungan masyarakat sekitar minimal 60 orang serta daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) pengguna rumah ibadah minimal 90 orang yang disahkan oleh pemerintah desa setempat.

Namun pada kenyataannya PBM 2006 ini sulit untuk diimplementasikan oleh kelompok-kelompok agama minoritas. Mulai dari kurangnya dukungan masyarakat sekitar, hingga terkendala oleh regulasi dan rekomendasi untuk memperoleh izin mendirikan bangunan (IMB). Tak dapat dipungkiri, aturan di atas realitanya bertabrakan dengan kondisi yang ada di masyarakat. Hal ini menimbulkan ketidakpastian dan mempersulit masyarakat untuk menunaikan hak kebebasan beragamanya.

Diskriminasi dan pembatasan terhadap aktivitas ibadah banyak dialami warga non-Muslim di Banten terjadi secara sistematis. Padahal, UUD 1945 sudah menjamin kebebasan tersebut, untuk memeluk agama dan beribadah sesuai keyakinan yang dianut oleh setiap warga negaranya.

Sejak 1986 Rusman Anita bersama suaminya, Pendeta Markus Taekz, merintis Gereja Pantekosta Rahmat di Carita, Pandeglang. Perempuan yang akrab disapa Bu Markus mengisahkan bahwa ia bersama suaminya terus berupaya untuk membangun hubungan yang baik dengan warga sekitar dan pemerintah setempat, dari lingkup RT, kepala desa sampai tingkat kabupaten.

Mereka berdua aktif dalam pertemuan-pertemuan lintasiman sampai tingkat kabupaten yang diinisiasi oleh FKUB Pandeglang. Sesekali dalam pertemuan antarumat beragama itu Bu Markus merasa menjadi perhatian karena tampilannya paling berbeda (perempuan dan tidak memakai jilbab). Hubungan di tingkat elit-elit agama, menurutnya, sangat harmonis. Namun, hal tersebut bukan jaminan bagi gerejanya untuk mendapat IMB.

“Kami terkendala oleh peraturan dua menteri tahun 2006. Dari pihak pemerintah kami diajak berdialog, akhirnya mereka setuju kami mendirikan rumah ibadah cuman mereka (pemerintah) sarankan jangan pasang merek gereja di depan” tutur Bu Markus.

Aktivitas sosial dan interaksi jemaat-jemaat Gereja Panteksota Rahmat dengan warga sekitar sampai hari ini semakin harmonis, meskipun sesekali ada saja kelompok tertentu di luar Carita yang berusaha “mempertanyakan” keberadaan gereja.

“Ya, kami sampaikan dan jelaskan dengan baik-baik kepada mereka,” ucap Bu Markus.

Sementara itu, FKUB Pandeglang mendata rumah ibadah di daerahnya hanya tiga. Ini disampaikan Ketua FKUB Pandeglang Entis Sutisna.

“Ada satu vihara Buddha dan satu gereja Katolik di Labuan serta satu gereja Protestan di Carita. Itu pun masih bersifat sementara. Belum resmi sesuai Peraturan Bersama Menteri. Tetapi sudah diterima keberadaannya oleh warga sekitar dan tercatat di Kanwil Kemenag Provinsi Banten,” papar Entis.

Merespon hal tersebut Anggota Komisi 4 DPRD Kab. Pandeglang, Agus Khatibul Umam, menuturkan, pihaknya belum mendapat banyak informasi terkait permasalahan-permasalahan intoleransi dan diskriminasi yang ada di wilayah tugasnya. Agus menegaskan jika hal tersebut benar adanya, itu bentuk konfirmasi pemerintah kurang peduli terhadap keberagaman.

Bagi Agus, Pemerintah Kabupaten harus memfasilitasi kehidupan antarumat beragama agar kebebasan beragama dan berkeyakinan serta semangat toleransi bisa lebih terbangun di Pandeglang secara khusus dan Banten secara umum. Dia berharap polemik dan diskriminasi terkait pendirian rumah ibadah dapat diselesaikan oleh pemerintah.

“Itu artinya pemerintah kurang mendengar dan peduli. Ini perlu ada pendekatan dari pihak kita (DPRD) ke pemerintah agar mereka memiliki sikap yang terbuka terhadap semua agama,” tutur Agus kepada kru LPM SiGMA (25/10).

*

Tulisan ini bagian dari program Workshop Pers Mahasiswa yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) kerja sama dengan Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit (FNF) dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Inilah 6 Wisudawan Terpilih Sebagai Lulusan Terbaik UIN SMH Banten Tahun 2020

0
Inilah 6 Wisudawan Terpilih Sebagai Lulusan Terbaik UIN SMH Banten Tahun 2020

Serang, redaksigma.com| Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Maulana Hasanuddin (SMH) Banten menggelar wisuda untuk program Pascasarjan dan sarjana, angkatan ke-28, Rabu (19/08).

Wisuda ini berlangsung secara virtual dengan memanfaatkan aplikai Zoom, dan disiarkan langsung di channel Youtube UIN SMH Banten, Instagram Humas UIN SMH Banten dan LPM SiGMA.

Dalam kesempatan tersebut Wakil rektor I, Ilzamudin mengumumkan 6 wisudwan yang terpilih sebagai lulusan terbaik tiap fakultas di UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten.

“Wisudawan terbaik pertama yang diraih oleh Dania Surnida dari Fakultas Syriah dengan IPK 3.91, wisudawan terbaik kedua diraih oleh Nazri Tsani Sarassanti Fakultas Dakwah dengan IPK 3.88, wisudawan terbaik ketiga Salmatul Fajriah Fakultas Ushuludin dan Adab dengan IPK 3.86, wisudawan terbaik keempat Akhmad Hudri dari Pascasarjana dengan IPK 3.81, wisudawan terbaik kelima Ayu Fitriani Fakultas Tarbiyah dan Keguruan dengan IPK 3.80 dan wisudawan terbaik keenam Sefti Nur Cahya Putri dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis islam dengan IPK 3.74,” tuturnya.

Keenam wisudawan terbaik UIN SMH Banten tersebut mendapatkan kesempatan untuk mengikuti wisuda secara langsung bersam Rektor, ketua dan para anggota senat menghadiri prosesi wisuda secara luring di Aula Rektorat lt.3 UIN SMH Banten, dengan menerapkan protokol kesehatan pencegahan Covid-19.

Sementara wisudawan lain, termasuk para Ketua Jurusan, koordinator program studi, dan para tamu undangan mengikuti secara daring.

Salah satu wisudawan terbaik, Dania Surnida mengaku bahagia dan berterima kasih untuk semua pihak, terutama kedua orang tuanya yang telah mendukung dan mengorbankan banyak hal, sehingga dirinya mampu meraih wisudawan terbaik dengan IPK 3,91.

“Saya merasa bersyukur kepada Allah yang telah memberikan berkah ini, dan spesial saya persembahkan kepada orang tua saya, terima kasih atas ketulusan, keiklasan dan cinta yang kalian berikan selama ini,” katanya

Hal yang sama dirasakan pula oleh Salmatul Fajriah wisudawan terbaik Fakultas Ushuludin dan Adab, ia merasa senang dan bahagia dengan apa yang telah diraihnya saat ini. Menurutnya, predikat ini dipersembahkan sepenuhnya untuk kedua orang tua sebagai pahlawan kehidupan yang luar biasa baginya.

“Senang rasanya bisa sedikit membuktikan kepada keluarga terutama ayah dan ibu yang telah bekerja keras untuk saya hingga saat ini,” ucapnya.

Olehnya itu, dia berpesan kepada seluruh mahasiswa UIN SMH Banten yang masih bergelut menyelesaikan studinya, agar tak patah semangat dalam menggapai mimpi dan cita-cita.
“Tetap semangat buat teman-teman mahasiswa yang sedang menempuh pendidkan ataupun yang sedang mengerjakan skripsinya, jangan ditunda-tunda ke esok hari kalo bisa dilaksanakan hari ini,” pesannya [Nada/Agan/SiGMA]

UIN Banten Menutup Gerbang Utama Kampus Pasca Kisruh Demonstrasi

0
UIN Banten Menutup Gerbang Utama Kampus Pasca Kisruh Demonstrasi

Serang, Redaksigma.com Pasca terjadinya kerusuhan demonstrasi penolakan UU Omnibuslaw yang dilakukan Aliansi Mahasiswa, pada Selasa (6/10) lalu, gerbang utama kampus 1 Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Maulana Hasanuddin (SMH) Banten ditutup.
.
Mahasiswa yang hendak masuk ke dalam kampus dicegat oleh Satpam yang berjaga dan tidak diperbolehkan memasuki kendaraan kedalam kampus. Akhirnya terjadi penumpukan kendaraan tepat di depan gerbang utama kampus dari pagi hingga waktu yang belum bisa ditentukan.
.
Hal ini disebabkan karena isu akan ada masa aksi demonstrasi kembali di depan kampus yang sudah tersebar dikalangan Rektorat sampai akhirnya Satpam diperintahkan oleh Wakil Rektor lll melalui Group WhatsApp untuk menjaga kampus terutama gerbang depan kampus.
.
Hadi Ismail salah satu satpam menjelaskan, penutupan ini dilakukan atas instruksi Polda Banten melalui Wakil Rektor III untuk mengantisipasi adanya gelombang demonstrasi susulan yang dilakukan mahasiswa.
.
“Saya hanya menjalankan perintah dari pak warek III, takutnya ada demo lagi kaya kemarin tuh kan kisruh,” kata Hadi sambil menunjukan sebaran pesan WhatsApp yang berisi perintah penutupan kampus dari aparat. Jum’at (9/10).
.
Wakil Rektor III, Wawan Wahyudin memberikan informasi setelah selesai melakukan sholat Jum’at di masjid Al – Hikmah. Ia menyampaikan, agar mahasiswa UIN SMH Banten tidak melakukan aksi demonstrasi di lingkungan Kampus.
.
“Saya menghimbau kepada para mahasiswa agar tidak melakukan aksi demonstrasi kembali, karena sudah dua kali berturut-turut saya mendapatkan informasi dari luar (Intel). yang saya khawatirkan kampus ini menjadi sentral aksi demo,” imbaunya. [Uqel/A.dp/SiGMA]
#jurnalism#persmahasiswa

Dimasa Pandemi, SEMA Fakultas Syariah Sukses Buat 6 Regulasi Fakultas

0
Dimasa Pandemi, SEMA Fakultas Syariah Sukses Buat 6 Regulasi Fakultas

Serang, Redaksigma.com Senat Mahasiswa (SEMA) Fakultas Syariah berhasil membuat 6 regulasi Fakultas yang disusun dalam rencana rancangan Program Legislasi Fakultas (PROLEGFAK) pasca diselenggarakannya Sidang Paripurna SEMA Fakultas Syariah di Aula Fakultas Syariah, Senin, (19/10).

Ketua Komisi Legislasi SEMA Fakultas Syariah, Khoirunisa menyebut pembentukan regulasi Fakultas tersebut didasari akibat adanya kekosongan hukum/aturan dalam menjalankan kerja-kerja organisasi yang mengakibatkan capaian kerja Ormawa kurang tearah dan tidak sesuai dengan rencana strategis (Renstra) Fakultas Syariah.

“Regulasi Fakultas dibuat untuk memberikan arah gerak Ormawa Fakultas Syariah yang saat ini terjadi kekosongan hukum/aturan sehingga kerja-kerja organisasi tidak terarah dan tidak sesuai dengan rencana strategis (renstra) Fakultas,” ujar Khoirunisa

Selain dari pada itu, ia menyebut ada 6 (enam) regulasi Fakultas yang disahkan dalam agenda Sidang Paripurna dan proses menuju pengesahannya pun sudah sesuai dengan mekanisme yang berlaku.

“Ada total 6 (enam) regulasi Fakultas yang disahkan, 1 Peraturan Dasar (PERDA) tentang KBM Fakultas Syariah dan 5 Peraturan Fakultas (PERFAK) diantaranya: Perfak tentang Garis Besar Haluan Kerja (GBHK) Ormawa Fakultas Syariah, Perfak tentang Orientasi Budaya & Akademik Jurusan (OSJUR), Perfak tentang Prosedur Tetap Hubungan SEMA F, DEMA F, dan HMJ di Fakultas Syariah, Perfak tentang Teknik Persidangan Ormawa Fakultas Syariah, dan terakhir Perfak tentang Tata Tertib SEMA Fakultas Syariah. Dalam proses pembuatannya sudah sesuai mekanisme yang berlaku mulai dari serap aspirasi, penyusunan draft, pembahasan, sampai dengan pengesahan,” tambahnya.

Senada dengan hal tersebut, Ketua Umum SEMA Fakultas Syariah Fariz Amrullah mengapresiasi komitmen tim penyusun dalam panitia khusus (Pansus) untuk menyelesaikan regulasi Fakultas ditengah Pandemi COVID-19.

“Saya mengapresiasi komitmen tim penyusun panitia khusus (Pansus) regulasi Fakultas dalam menyelesaikan rencana Program Legislasi Fakultas (Prolegfak), ada ratusan pasal kalau semuanya digabungkan semoga bisa jadi langkah awal untuk bergerak lebih produktif,” Kata Fariz
.
Selain itu, ia juga berharap agar pengawasan pelaksanaannya bisa di awasi bersama-sama bukan hanya oleh SEMA Fakultas termasuk oleh Mahasiswa Fakultas Syariah juga.
.
“Aturan udah dibuat, arah kerja juga udah ada di Perfak tentang Garis Besar Haluan Kerja (GBHK), tinggal sama-sama kita awasi aja pelaksanaannya nanti. Semoga ini bisa memberikan dampak,” tandasnya [A.dp/Agan/SiGMA]

Cerita Mahasiswa UIN : Dapat Beasiswa Studi S2 di Luar Negeri dan Cara Mewujudkannya

0
Dapat Beasiswa Studi S2 di Luar Negeri dan Cara Mewujudkannya

Serang, redaksigm.com| Setiap manusia pasti memiliki impian dalam hidupnya. Salah satunya adalah keinginan seorang pengembara ilmu, baik pelajar maupun mahasiswa adalah impian untuk mendapatkan beasiswa sebagai salah satu tujuan utama dalam mengemban ilmu pengetahuan di dunia pendidikan.

Seperti cerita dari Mahasiswi bernama Ibadurohmah ini. Satu impiannya untuk melanjutkan studi S2 di luar negeri telah tercapai. ia kini menjadi penerima beasiswa S2 yang sedang menempuh studi di Sp Jain School Of Global Management Dubai.

“Petualang dan ilmu. Seperti dua unsur yang berbeda tapi bisa untuk disatukan, pembelajaran tak pernah selesai untuk seorang petualang yang haus akan ilmu,” ujar Ibdurohmah, Senin, (26/10)

Mahasiswi lulusan Jurusan Asuransi Syariah UIN Banten tahun 2018 ini, memotivasi dirinya untuk terus maju melangkah jauh agar mempersiapkan semuanya sehingga berada di posisi sekarang.

“Ada beberapa yang saya persiapkan sebelumnya untuk menuju ke sana. Dari mulai aktif mengikuti kursus English Building Comunication (EBC) 2015. Sampai mengikuti beberapa organisasi eksternal,” katanya.

Ia juga menjelaskan bahwa yang jadi modal awal untuk maju adalah ide dan gagasan. Persoalan biaya sebenernya klise, banyak lembaga yang menyediakan atau memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi.

“Karena tanpa ide dan gagasan kita menjadi orang yang tidak tahu arah, ‘tujuan kita mau kemana’, ‘Mau menjadi apa’. Stop untuk membicarakan semua terkendala dengan uang karena semuanya tergantung kita. Apakah mau berusaha dan siap bekerja keras meraih mimpi,” tuturnya dengan nada serius dan meyakinkan.

Diakhir cerita, Ibdurohmah memberikan pesan untuk adik tingkat mahasiswa yang masih berjuang di kampus untuk tetap semangat dan pantang menyerah.
.
“Sesulit apa pun keadaan kita saat berjuang sekarang, hadapi aja dengan ilmu dan kesabaran. Itulah yang membentuk karakter kita, jangan sampai ujian hidup menghilangkan idealisme dan tekad kita untuk terus belajar menuju perbaikan diri sesuai apa yang di perintahkan agama kita. Terakhir semangat selalu dan jaga kesehatan,” pesannya.
.
Disisi lain, Ketua jurusan Asuransi Syariah Rustam mengapresiasi dan memberikan selamat kepada mahasiswanya yang meraih impiannya.
.
“Selamat untuk ibdurohmah semoga ilmunya bisa bermanfaat dan semoga nanti bisa di implementasikan untuk membangunan jurusan Asuransi Syariah,” ujarnya. [Ahmad Khudori/Agan/SiGMA]